Senin, 02 Desember 2013

TAFSIR TEKTUAL DAN KONTEKTUAL

TAFSIR TEKTUAL DAN KONTEKTUAL
Oleh. Aye Sudarto



I.                   PENDAHULUAN
Tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum.[1]. Pada Al-Qur’an istilah tafsir di sebutkan dalam surat Al-Furqan (25) :33[2],
tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya)”.
Kata tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelas.
Tafsir pada dasarnya dalam rangka memberikan penjelasan sebagai
mana maksud ayat. Sehingga kaum muslimin dapat memahami artinya dan dapat melaksanakan dalam kehidupan keseharian. Para ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum[3].
Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya[4]. Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengetakan tafsir lebih dikenal sebagai cara mngurai bahsa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Dalam hal ini teks dijadikan sebagai subjek. Ta’wil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi terhadap teks, sebagai objek kajian.[5] 
Untuk  menafsirkan Al-Qur’an diperlukan beberapa metode dan pendekatan. Metode tafsir yang masyhur antara lain yaitu; metode tafsir tahlili (analistis), metode tafsir maudhu’i (tematik), metode tafsir muqaran (komparatif), dan metode tafsir ijmali (global). Sedangkan pendekatannya, antara lain pendekatan Objektif dan Pendekatan Subjektif, Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung, Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan Sektoral, Pendekatan Disipliner, Pendekatan Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner serta Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual. Demikian dalam makalah ini akan dibahas mengenai ragam teori penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan tekstual dan kontekstual.
II.                PENDEKATAN TAFSIR TEKTUAL DAN KONTEKTUAL
Pendekatan tafsir tekstual adalah sebuah pendekatan studi Al-Qur’an yang menjadikan lafal-lafal Al-Qur’an sebagai obyek. Pendekatan tektual  menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami Al-Qur’an. Secara praktis, pendekatan ini dilakukan dengan memberikan perhatian pada ketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat Al-Qur’an. Pendekatan ini banyak dipergunakan oleh ulama-ulama salaf dalam menafsiri Al-Qur’an dengan cara menukil hadits atau pendapat ulama yang berkaitan dengan makna lafal yang sedang dikaji.[6]
Pendekatan ini sama  dengan tafsir bi al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan sendiri dengan nash baik AL-Qur’an ataupun hadist[7]. Penafsiran tekstual mengarah pada pemahaman teks semata, tanpa mengaitkannya dengan situasi lahimya teks, maupun tanpa mengaitkannya dengan sosiokultural yang menyertainya.
Sisi lain dari penafsiran itu adalah penafsiran kontekstual yang semata-mata tidak hanya melihat keumuman lafadz tetapi lebih dipengaruhi latar belakang turunnya. Lebih jauh teks harus dipahami sesuai dengan sosio kultur masyarakat dimana teks itu lahir. Karena tidak jarang ditemukan kekeliruan pemahaman sebuah teks bila teks dipahami secara utuh tanpa mengaitkan sosio kultur yang melatar belakanginya, atau kekeliruan seseorang karena tidak mengetahui apa teks itu sebenarnya.Tekstualitas tidak akan terlepas dari kontekstualitas begitu pula sebaliknya. Teks adalah kebutuhan kontekstual (sosial) dan sebaliknya bahwa konteks manusia dalah tekstualisasi (kebudayaan).
III.             TAFSIR TEKSTUAL
 Tafsir tektual yang menempati posisi pertama dalam masa penafsiran al-quran dibagi menjadi dua priode[8]
a.       Priode Riwayah
Pada priode ini para sahabat menukil sabda nabi dan para sahabat sendiri dan tabiin untuk menjelaskan tafsir al-quran, dan pengambilan tersebut dilakukan dengan teliti dan waspada demi menjaga keshalehan dan keshohehan Isnad penukilan sehinggadapat menjaga apa yang di ambil.
b.      Priode Tadwin (pembukuan)
Pada Priode ini para sahabat atau tabiin mencatat dan menghimpun penukilannya yang sudah dianggap shaheh setelah diadakan penelitian, sehingga himpunan tersebut membentuk ilmu sendiri. Sekalipun aliran ini mempunyai banyak kelebihan seperti penafsiran yang mendekati obyektivitas yang didasarkan atas ayat-ayat al-quran dan hadis nabi Muhammad SAW.
Tafsir Tektual  adalah tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an, Al Qur’an dengan As-Sunah atau penafsiran Al Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat[9]
Dengan demikian metode penafsiran Al-Qur’an secara tekstual adalah pendekatan pemahaman ayat-ayat Al-Qura’an terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada.
IV.             TAFSIR KONTEKSTUAL
Kerangka penafsiran kontektual  dan memahami al Quran  dalam konteknya-kontek kesejarahan dan harfiyah dan memproyeksikan dalam komtek kekinian. Dan kerangka membawa fenomena-fenomena social  kedalam tujuan tujuan al Quran.
Memahami al Quran dalam Konteknya dan memproyrksikan dalam situasi kekinian, meliputi[10]: Pemilihan objek penafsiran dalam suatu tema atau istilah tertentu dan mengumpulkan  dan mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian  dengan tema. Selanjutnya mengkasi tema atau istilah dalam kontek kesjarahan  pra-quran dan masa alquran. Mengkaji respon al Quran  sehunbungan dengn tema dalam urutan kronologisnya, dengan cara memberikan perhatian  khusus kepada kontek serta ayat-ayat al Quran. Kajian ini perlu melihat azbabunuzul ayat.
Langkah yang diperlukan untuk  membawa fenomena social kedalam nauanga tujuan al quran. Dengan cara mengkaji dengan cermat fenomena social, Selanjutnya menilai menangani fenomena ini berdasarkan tujuan-tujuan moral al quran.
Tidak semua ayat mempunyai kasus demikian, untuk melakukan pendekatan kontekstual diperlukan pemahaman terhadap semua kondisi bangsa Arab yang melingkupi turunnya al-Qur’an. Pemahaman terhadap kondisi obyektif seperti ini akan dapat membantu penafsir memahami maksud dan kandungan ayat yang sedang di teliti. Misalnya untuk memahami hukum riba yang terdapat dalam QS. Al-Bagarah 2 :278 – 280 maka penafsir harus memahami prilaku ekonomi bangsa Arab ketika itu. Sejarah budaya bangsa Arab dengan demikian akan sangat membantu penafsir memahami maksud ayat yang sedang di telitinya. Arun30  ayat 39 anisa
V.                Hukum riba

1.      Surah Al Bagqorah : 2:275,
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[11] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[12] Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[13](sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
2.      Surah Al Baqorah 2:276,
276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[14]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[15].
3.      Surah Al Baqoroh 2:278,
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Asbabunuzul  surat al Baqoroh ayat 275 – 279  dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut  berkenaan dengan pengaduan  Bani Mughiroh kepada gubernur Makkah  setelah Fattul Makkah yaitu Attab bin As Yad tentang hutang-hutangnya yang beriba[16].
4.      Surah Ali Imron 3:130,
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[17] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Sebab turunnya surat Ali Imron ayat 130:  Dalam suatu riwayat dikemukakan  terdapat orang-orang yang berjual beli dengan kridit (dengan bayaran berjangka waktu). Apabila telah tiba waktu pembayaran dan tidak membayar, bertambahlah bunganya , dan ditambahkannya jangka waktu pembayarannya. Maka turunlah ayat tersebut diatas diriwayatkan dari Faryabi dari Mujahid. Dalam kisah yang lain di kemukakkan bahwapada zaman JahiliyahTsaqif  berhutang kepada Bani Nadlir. Ketika telah tiba waktu membayar, Tsaqif berkata: kami bayar bunganya dan undurkan waktunya. Maka turunlah ayat tersebut diatas. Diriwayatkan  al Faryabi dari ‘Atho.[18]
5.      Arrum 30:39
39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
6.      Sanksi riba: Al Baqoroh  2:279



279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Bank tanpa bunga. Di kalangan NU sebenarnya telah menjadi agenda  mbahasan sejak tahun1930,[19]  (Muktamar NU ke-5). Nuhammadiyah dalam Putusan majelis tarjih Sidoarjo tahun 1967 juga telah membahas tentang bunga Bank[20]. Namun dari beberapa ittifaq hukum yang dhasilkan tetap mengandung hukum yang ikhtilaf. Kesepakatannyapertama bunga bank yang terjadi di bank konvensional adalah haram karena secara mutlak bunga bank itu mutlak riba, karena itu Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tegas tidak memperbolehkan riba.
Kedua, bagi mereka yang tidak menyamakan antara bunga bank dan riba, bunga bank itu boleh. Dan ketiga, adalah meragukan hukum bunga bank yaitu syubhat. Yang menjadi perbincangan dalam bahtsul masa’il adalah, apakah bunga bank konvensional yang ada sekarang ini termasuk dalam kategori riba atau tidak?.  Dalam menjawab pertanyaan ini, menggunakan dua parameter nilai, yakni riba nasi’ah dan qard.
Kalau bunga bank masuk dalam kategori nasi’ah atau qard atau kedua-duanya, maka bunga bank konvensional haram hukumnya. Kalau bebas dari definisi nasi’ah atau qardh, maka bunga bank hukumnya mubah. Namun pada kesimpulan akhir ittifaq hukum tersebut para ulama memandang fleksibel pada praktek bank konvensional dengan pernyataan bahwa ummat Islam tidak boleh bermuamalat dengan bank kecuali dalam keadilan darurat atau sangat membutuhkan.
            Muhammadiyah dalam putusan Majelis tarjihno 08 tahun 2006  di Yogya karta  telah mengharamkan bunga Bank.[21]
Dari sini dapat kita lihat bahwa secara tektual dan dapat dilihat dari sebab turunnnya ayat, bahwa Riba itu Haram. Namun bila ditarik pada kontek kekinian dan dilihat kondisi masyarakat hukum bunga bank tidak secara tegas diharamkan. Bahkan masih di perbolehkan.
            Muhammadiyah pada awalnya masih memandang  bunga Bank pada Bank Negara dipandang Mutasabihat. Namun pada qurun waktu berikutnya sudah mengharamkan secara mutlak.
VI.             KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAFSIR KONTEKSTUAL
            Setiap corak tafsir tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dipungkiri, karena memang itulah keterbatasan ilmu manusia yang hanya sedikit sekali ilmu yang diberikan oleh Allah bahkan digambarkan hanya setetes air yang ada di lautan, begitu juga tafsir kontekstual kelebihan dan kekurangannyaadalah sebagai berikut :
Adapun kelebihan-kelebihan tafsir kontekstual, diantaranya:
Mempertahankan semangat keuniversalan al Qur’an, sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
                 Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Sebab metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu ayat-ayat al Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya, tafsir hermeneutika titik penekanannya adalah kajian kata dan bahasa , sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam menafsirkan al Qur’an. Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai gabungan dari metode-metode tersebut.
Metode tafsir kontekstual akan membuka wawasan berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens.
Adapun kelemahan-kelemahan tafsir kontekstual, itu sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penafsir itu sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya. Diantara kelemahan tersebut adalah:
            Hasil penafsiran kontekstual terkadang didahului oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu penyesuaian nilai-nilai al Qur’an dengan kondisi masyarakat. Tentu dengan keterbukaan tersebut memancing seseorang untuk menafsirkan al Qur’an sesuai dengan seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya mengada-ada.
Dengan semangat tafsir kontekstual terkadang melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas Allah untuk mengetahui maknanya
Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa, asbab nuzul, nasikh mansukh. Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan. Tafsir kontekstual memotivasi seseorang untuk cepat merasa mampu menafsirkan al Qur’an sekalipun syarat-syarat mufassir belum terpenuh
VII.          PENUTUP
Metode penafsiran Al-Qur’an secara tekstual adalah pendekatan pemahaman ayat-ayat Al-Qura’an terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada.
Memahami al Quran dalam Konteknya dan memproyrksikan dalam situasi kekinian, meliputi Pemilihan objek penafsiran dalam suatu tema atau istilah tertentu dan mengumpulkan  dan mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian  dengan tema. Selanjutnya mengkasi tema atau istilah dalam kontek kesjarahan  pra-quran dan masa alquran. Mengkaji respon al Quran  sehunbungan dengn tema dalam urutan kronologisnya, dengan cara memberikan perhatian  khusus kepada kontek serta ayat-ayat al Quran.


DAFTAR RUJUKAN
Amal, Taufif Adnan Tafsir kontek tual Al Quran penerbit Mizan Bandung, cet 3 th 1992
Ash Shabuuniy, Muhammad Ali -, Studi Ilmu Al Qur’an, alih Bahasan, Amiudin, Pustaka Setia Bandung, 1999
Departemen Agama, Al quranul Karim. Pt sigma ExtramediaArkanleema, tahun 2009.
Fatih. M. Suryadilaga,dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,  Teras, Yogyakarta 2000
Fatwa  Majelis Tarjih dan Tajdit Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1998 No08 tahun 2006
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah cet 3 tahun 1967
Jalal al-Din As-Suyuti , lmu al-Tafsir Manqul Min Kitab Itmam al-Diroyah,  
Saleh, Qomarudin, KH. Asbabun Nuzul. Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Quran. Penerbit Cv Diponegoro Bandung Cet 2 tanpa tahun
Syamsudin, Sahiron dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab. Penerbit Islamika Yogyakarta:, 2003.
Syihab Quraisyi.,  Tafsir al-Misbah (.Tangerang: Lentera Hati, 2005)
Suryadilaga, M. Alfatih dkk,  Metodologi Ilmu Tafsir,:Teras Yogyakarta, 2005,
Yahya . Imam, DR, MAg, Dinamika Ijtihad NU, Pemerbit Walisongo Pres  tahun 2009.
Zenrif. M.F., Sintesis paradigm Studi Al-Qur’an, Malain Press, 2008,




[1] Syihab Quraisyi.,  Tafsir al-Misbah (.Tangerang: Lentera Hati, 2005), hal 1
[2] Departemen Agama, Al quranul Karim. Pt sigma ExtramediaArkanleema, tahun 2009. Hal 363
[3] Syamsudin, Sahiron dkk. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab. Penerbit Islamika Yogyakarta:, 2003. Hal 4
[4] Jalal al-Din As-Suyuti , lmu al-Tafsir Manqul Min Kitab Itmam al-Diroyah,  hal  1.
[5] Op cit, Samsudin, Sahiron, hal 21
[6] M.F.Zenrif, Sintesis paradigm Studi Al-Qur’an, Malain Press, 2008, hlm. 51.
[7] Suryadilaga, M. Alfatih dkk,  Metodologi Ilmu Tafsir,:Teras Yogyakarta, 2005, hlm 84.
[8] M. Fatih Suryadilaga,dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,  Teras, Yogyakarta 200), 84
[9] Ash Shabuuniy, Muhammad Ali -, Studi Ilmu Al Qur’an, alih Bahasan, Amiudin, Pustaka Setia Bandung, 1999 248
[10]  Amal, Taufif Adnan Tafsir kontek tual Al Quran penerbit Mizan Bandung, cet 3 th 1992 hal 63
[11] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[12]Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan
[13] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[14] Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya
[15]Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
[16] Saleh, Qomarudin, KH. Asbabun Nuzul. Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Quran. Penerbit Cv Diponegoro Bandung Cet 2 tanpa tahun hal 85
[17] Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda
[18] Op Cit, Saleh Qomarudin Kh.  hal 105
[19] Yahya . Imam, DR, MAg, Dinamika Ijtihad NU, Pemerbit Walisongo Pres  tahun 2009, Hal 220 - 223
[20]  Himpunan Putusan Majelis Tarjih cet 3 tahun 1967 hal 34 -36
[21] Fatwa  Majelis Tarjih dan Tajdit Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1998 No08 tahun 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar