MAZHAB HANAFI
DAN MALIKI:
DALAM HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA DALAM
PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Oleh; Aye
Sudarto
1.
PENGERTIAN JUDUL
Judul diatas dapat di kelompokkan menjadi :
-
Pengertian mazhab Hanafi dan Maszhab
Maliki
-
Pengertian Hukum Islam
-
Pengertian Pengembangan Ekonomi Islam
Menurut bahasa mazhab berarti jalan atau
tempat yang dilalui, Kata mazhab berasal dari kata:
Mazhab juga dapat berarti
pendirian.
Menurut istilah para fakih, mazhab mempunyai dua pengertian[1],
yaitu, pertama: pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hokum suatu
masalah. Kedua: Kaidah-kaidah istimbat yang dirumuskan seorang Imam Mujtahid.
Dari pengertian diatas dapat di tarik simpulan bahwa mazhab adalah: Hasil
ijtihad seorang imam
tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah
suatu istimbath. Jadi Mazhab Hanafi adalah: Hasil iztihad Imam Hanafi (Imam
besar Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimiy) tentang hukum
suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah suatu istimbath. dan Mazhab Maliki adalah Hasil Iztihad Imam
Maliki bin Anas bin Amir Al Ashbahi.
Pengertian Hukum Islam Atau
Syariah adalah kata bahasa arab yang secara harfiah berarti jalan yang
ditempuh atau garis yang mestinya dilalui.
Sedangkan secara terminology
adalah peraturan-peraturan dan hukum
yang telah digariskan oleh Allah atau
telah digariskan pokok-pokoknya dan
dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini
diambil oleh orang Islam sebagai
penghubung diantaranya dengan Allah dan diantaranya dengan manusia.[2]
Dari definisi tersebut dapat ditarik simpulan bahwa hokum Islam adalah
peraturan dan hokum-hukum yang menentukan garis hidup yang harus dilalui oleh
seorang muslim. Syariat Islam itu
berasal dari Allah, maka sumber Syariat adalah Allah sendiri, yang disa,paikan
kepada manusia melalui para Rasul, dan termaktub dalam kitab suci[3].
Pengaruh hukum Islam terhadap pengembangan ekonomi Islam adalah upaya hukum-sejauh
mana pengaruh hokum-hukum Islam yang telah ditetapkan dan difahamai Imam Mazhab
dan pengikutnya dalam pengembangan ekonomi Islam.
2.
RIWAYAT
IMAM HANAFI DAN IMAM MALIKI
1. Riwayat
Hidup Imam Hanafi
Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang
paling tua diantara empat mazhab
ahlusunah wal Jamaah. Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Besar Imam Abu
Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimiy, lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 Hijriah (609M) dan wafat
pada tahun 150 Hijriyah (767 M)[4].
Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah
Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena
kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta
menjauhi perbuatan dosa dan keji. Mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi.
Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat
ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali
r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang
mengguncang diantara ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar
keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang-orang yang utama di zamannya, dan doa
itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya
meninggal dunia[5].
Imam
Hanafi hidup dalam lingkung yang berbeda beda,
mengenal seluk beluk dan wawasan mereka, kemudian berguru dengan dengan ulama
terkemuka pada zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman merupakan guru paling
senior bagi imam Hanafi. Hammad bin Sulaiman
belajar Fiqh dari Ibrahim Anakhi, dan Ibrahim Anakhi belajar dari
Abdulah bin Masud. Imam Hanafi juga belajar tabiin seperti ’Ato bin Abi Robah
dan Nafi pembantunya Ibnu Umar. [6]
Setelah Hamad bin Sulaiman meninggal
pada tahun 120 H, beliau duduk
menggantikansang Guru dalam majelis kajiannnya. Gaya pengajaran sang imam
dengan cara dialog, dan memberikan pertanyaan tentang permasalahan agama kepada
murid muridnya. Selanjutnya msing-masing orang
menyampaiakn pendapatnya, terkadang mereka setuju kadang tidak.
Apabila sudah sampai pada kata mufakat dalam suatu masalah
baru sang imam mendektekan kepada para
murid. Bila tidak terjadi kata mufakat maka ditulislah semua pendapat yang ada[7]. Dan dengan cara inilah berdirinya mashab
Hanafi atas dasar musyawarah, tukar pendapat dan diskusi.
Dari sinilah kemudian lahir murid-murid
sang imam yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan ijtihad.
Metodologi ini banyak dilaksankan dalam kampus-kampus modern, seperti metode
analisis, observasi illat dan menelaah dalil.
Metodologi ini sangat baik untuk
mentrasfer ilmu kepada murid dan menyerap ilmu dari guru. Dengan cara ini sang
imam memotivasi muridnya untuk belajar.
Imam Hanafi banyak mempunyai
murid, ada yang tinggal beberapa
waktu untuk belajar, dan jika udah
selesai mereka pulang dengan membawa bekal dari hasil belajarnya. Diantara
murid-murid sang Imam adalah: Abu Yusuf, Muhamad bin Al Hasan Assaibani, Zufal bin Al Zufail,
Al Hasan bin Zaid al Lului, Diantara muridnya ini yang paling besar jasanya
adalah Abu Yusuf, Muhamad bin Al Hasan
Assaibani, mereka berdualah yang pertama menulis buku fiqh Hanafi. [8]
Imam abu Hanifah dalam Rasyid Hasan
mengatakan: ”saya mengambil dari kitab Allah swt, jika tidak ada mak saya mengambil dari Sunah
Rasul dam bila tidak ada dari keduanya saya mengambil dari pendapat sahabat.
Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain dan saya tidak akan meninggalkan dari
pendapat mereka. Dan mengambil pendapat orang lain, dan jika sudah sampai pada
pendapat Ibrahim, Al Hasan, Ibnu Sirin,
maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad[9].
Ketika Abu Hanifah ditanyakan:
Bagaimana jika anda mengatakan sebuah pendapat
sedangkan kitab Allah berbeda dengan itu? Beliau mejawab: Tinggalkan
pendapatku karena kitab Allah tersebut. Lalu ditanya lagi: Bila Sabda
Rasulullah berbeda dari pendapat anda? Tinggalkan pendapatku karena hadis dari
Easulluallah tersebut. Lalu ditanya lagi: Bila pendapat Sahabat berbeda dari
pendapat anda? Beliau menjawab: Tinggalkan pendapatku karena pendapat sahabat
Tersebut.[10]
Dari pendapat diatas dapat ditarik
simpulan, mazhab Hanafi dalam mengambil istimbat hukum adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an sebagai
sumber dari segala sumber hukum
2. Sunnah Rasul
sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al- Qur’an
3. Fatwa sahabat (Aqwal
as-Sahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan
mengetahui asbabun nuzul-nya serta asbabul wurud hadis
dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan
sebagaimana fatwa sahabat
4. Qiyas (Analogi)
yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun
Aqwal Asshabah
5. Istihsan yaitu
keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang
menyalahinya karena tidak tepatnya Qiyas atau karena Qiyas tersebut berlawanan
dengan Nash
6. Ijma’ yaitu
kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu
7. ‘Urf yaitu
adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya
dalam Al-Qur’an, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam
hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.
Mazhab Hanafi tersebar di
banyak negeri, Negeri negeri yang bermazhab Hanafi diantaranya Irak, (Sekitar Sungai Eufrat, dan Kuffah), kemudian Mesir, Syam Persia,
Romawi, Yaman, India, Cina, Bukhoro, Kaukakus,
Afganistan dan Turkmenistan.
Mazhab Hanafi ini masih menjadi refernsi dalam mengeluarkan fatwa oleh Negara-negara yang pernah tunduk dibawah pemerintahan Turki Usmani.[11]
Beberapa factor yang mendorong
tersebarnya mazhab Hanafi di beberapa
Negara adalah hal-hal sebagai berikut:
1.
Banyaknya
murid imam Hanafi yang menyebarkan dan menjelaskan tentang mazhab ini. Terutama teori mazhab dan
berbagai permasalahan yang ada. Hal ini
dilakukan dengan cara menjelaskan dan diskusi dengan masyarakat.
2.
Menjadi
Mazhab resmi Dinasti Abasyiyah selama lebih dari 5 abad dan diterapkan di
negeri negeri Islam dibawah kekuasaan Dinasti Abasyiyah
3.
Diangkatnya
Abu Yusuf sebagai sebagai Hakin di
Bagdad pada masa Khalifah Harun al Rasyid. Sehingga setiap hakin Daerah harus
merujuk kepada keputusan beliau
2.
Riwayat Hidup Imam Malik
Mazhab Maliki
didirikan Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin
Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi,
lahir di Madinah pada tahun 713 M/93 H dan meninggal pada tahun 796 M/179 H. Imam Malik berasal
dari keluarga Arab terhormat dan berstatus sosial tinggi, baik sebelum
datangnya Islam maupun sesudahnya. Leluhurnya berasal dari Yaman, namun setelah
nenek moyangnya menganut Islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya (Abu Amir) adalah
anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun ke dua Hijriah[12].
Kakek beliau sebagai tabiian, banyak
meriwayatkan hadis dari Umar bin Khatob, Usman Bin Afan, Tholkhah bin
Ubaidilah, dan Aisyah. Imam malik tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali
pada saat pergi Haji ke kota Makkah.
Imam Malik
sudah hafal al qur’an sejak usia yang
sangat muda. Belajar dari Robiah ar Ro’yyi ketika masih muda. Berpindah dah dari ulama satu keulma yang
lain. Sampai bertemu dengan Abdurrahman bin Hurmus, beliau ini
seorang tabiin, ahli qiroat, ahli hadis,
meriwayatkan hadis dari abu Huroiroh, Abu Said al Khudori,dan Muawiyah
bin Abu Sofyan.[13]
Kecintaannya
kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia
pendidikan, tidak kurang dari empat Khalifah, mulai dari al-Mansur, al-Mahdi,
Harun ar-Rasyid dan al-Makmun pernah menjadi muridnya. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri
pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid
terhadap gurunya.
Imam Malik
mengawali pelajarannya dengan ilmu Riwayat Hadist, mempelajari fatwa para
sahabat dan dengan inilah belai mengembakan mashabnya. Imam Malik berkata dalam
Rasyid Hasan Halil[14].:
Ilmu itu adalah Agamamaka lihatlah dariman kalian
mengambilnya, saya telah bertemu dengan tujuhpuluh orang yang mengatakan saya
mendengar Rosulullah dekat tiang-tiang masjid ini, tiang masjid Nabawi, tetapi
tidak satupun yang saya ambil. Seandanya salah seorang mereka dimintai menjaga
sebuah rumah, pastilah mereka sangat dipercaya,
namun mereka bukan orang yang ahli dalam periwayatan hadist
Saya tidak
duduk di kursi fatwa ini, kecuali sudah mendapat izin dari 70 puluh syeh yang
ahli imu dan memang saya layak untuk itu. Keteka sudah mendapat kepercayaan,
kemudian imam Malik duduk di dalam
Masjid Nabawi dan memilih duduk ditempat
Umar Bin Khotob dan tinggal di rumah yang pernah ditempati Abdullah bin Masud.
Imam Malik memiliki dua Majelis: pertama: Majelis Hadis dan Kedua: Majelis
Fatwa.[15]
Lamanya beliau
tinggal di Madinah dan ketokohan beliau dalam bidang Agama telah memberi
andil dalam tersebarnya mazhab Maliki. Banyak
murid yang datang untuk belajar dari segala penjuru negeri Islam seperti dari
Syam, Irak, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Semua datang berguru, dan dari
merekalah Mazhab ini berkembang. Diantara muridnya adalah Abdullah bin Wahab
yang berguru kepada imam Malik selama 20 tahun dan menyebarkan mazhab Hanafi di
Mesir dan Maroko. Dan Muridny yang menulisMazhab Maliki dan meiwayatkan buku Al
Muawato’ Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al-Muwatha’,
yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan. Kitab ini
ditulis pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah
al-Mahdi (775-785 M). Semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah
diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis.[16]
Imam Malik
tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqhnya di
kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki. Mazhab ini sangat
mengutamakan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Sumber hukum yang
menjadi pedoman dalam mazhab Maliki[17]
adalah:
1. Al Quran, Mmerupakan
sumber sariat bagi umat Islam
2. Sunnah
Rasulullah, Dalam mengisbat hukum dari sunah mengambil hadis mutawatir, hadis
mashur dizaman tabiin atau tabit’tabiin, dan tidak mengambil setelah zaman itu.
3. Amalan penduduk
Madinah, Imam Malik berpendapat amalan penduduk Madinah merupakan hujjah, karna
hal ini merupakan cermin dari
Rosulullah. Untuk menguwatkan pendapatnya Imam Malik menukil pendapat gurunyaRobiah bin
Abdurrahman, ”Seribu orang meriwayatkan dari seribu yang lain lebih baik dari
pada hanya satu orang”.
4. Fatwa Sahabat: Karena fatwa
Sahabat adalah hadis yang haus diamalkan, jika memang benar perawinya, terutama
dari Khulafaurrasyidin.
5. Qiyas ,: Imam
Malik menggunakan qioyas dengan makna menurut istilah, yaitu menggabungkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya
dengan msalah yang sudah ada nasnnya. Karena ada persamaan dalam Illat-nya.
6. Al mashalih al
mursalah; Merupakan kemaslahatan yang tidak ada dalil yang menolak atau
membenarkannya, dengan syarat mengambil demi menghilangkan kesusahan.
al-Maslaha al-Mursal kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil
tertentu.
7. Sadd adz-dzara’i: sesuatu yang
mengakibatkan perbuatan hararam adalah haram,
dan yang dapat membawa yang halal
adalah halal.
3.
PEMIKIRAN
EKONOMI MAZHAB HANAFI DAN MALIKI
1.
Pemikiran tentang Harta
Harta merupakan
keperluan hidup yang sangat penting dan merupakan salah satu perhiasan dunia.
Secara literal harta (al-mal) berarti sesuatu yang naluri manusia
condong kepadanya. Dalam terminologi fiqh Para imam mazhab memiliki pandangan
yang berbeda tentang harta. Imam Hanafi menekankan batasan harta pada term
”dapat disimpan”. Hal ini mengisyaratkan pengecualian aspek manfaat. Manfaat
bukan merupakan bagian dari konsep harta, melainkan masuk dalam konsep milkiyah.[18]
Berdasarkan pendapat ini, harta diartikan sebagai sesuatu (yang selain manusia)
yang manusia mempunyai keperluan terhadapnya dapat disimpan untuk ditasharufkan
(digunakan pada saat diperlukan).
Imam Malik,
berpendapat bahwa harta tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga manfaat.
Menurut pandangan jumhur, kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur
terpenting dari harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan
kuantitas manfaatnya.
2.
Pemikiran tentang Riba
Dalam penetapan
hukum bahwa riba itu haram, seluruh ulama telah sepakat tentang hal tersebut.
Banyak pandangan yang berbeda di kalangan ulama fiqh mengenai konsep riba,
dalam tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang dianggap paling
berdampak pada praktik keuangan baik dalam dimensi pemikiran klasik maupun
kontemporer. Hal tersebut adalah tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman
riba.
Imam Hanafi,
imam Malik membagi riba menjadi dua bagian[19],
yaitu riba fadhl (jaul beli barang sejenis dengan adanya tambahan
pada salah satunya) dan riba nasi’ah (menjual barang dengan
sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan). Menurut
imam Hanafi: illat riba dalam emas dan perak, karena keduanya termasuk barang
yang bisa ditimbang; maka riba masuk dalam segala barang yang bisa ditimbang,
termasuk gandum, kurma dan sejenisnya. Sedang menurut imam Malik: dalam masalah
gandum, kurma dan sejenisnya, illat ribanya adalah karena merupakan bahan
kebutuhan pokok.
Imam Malik
menambahkan sifat tertentu pada makanan: bahan makanan pokok dan yang dapat
diawetkan. Imam Hanafi hanya melihat satu sebab, barang-barang yang dijual
dengan ditimbang (bobot) atau ditakar (isi).
3. Pemikiran
tentang Jual Beli
Jual beli
disyari’atkan berdasarkan konsensus kaum muslimin. Karena kehidupan manusia
tidak bisa lepas dari aktivitas tersebut. Jual beli diklasifikasikan dalam
banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda. Ada beberapa
perbedaan pandangan antar ulama yang menjadi landasan penetapan hukum jual beli
pada masa dahulu dan praktiknya terus berjalan hingga sekarang dengan berbagai
bentuk modifikasi.[20]
Tentang jual
beli yang dilakukan hanya dengan serah terima barang tanpa kata akad terdapat
perbedaan pandangan. Imam Hanafi, menyatakan jual beli tersebut tidak sah berdasarhan
hadits, ”jual beli dilakukan atas dasar saling rela”. Rela adalah
persoalan hati yang samar, tidak bisa diketahui kecuali diucapkan. Sedang
menurut imam Malik jual beli tersebut sah meski tanpa akad karena serah terima
barang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah rela dan menerima hal
tersebut.[21]
Menurut imam
Hanafi dan imam Malik jika transaksi jual beli terjadi, masing-masing penjual
dan pembeli sudah tidak mempunyai hak khiyar. Transaksi telah
sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad. Lebih jauh, tentang khiyar, dalam
hal jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau
belum pernah diperiksa menurut imam Hanafi, imam Malik pembeli mempunyai
hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli
ketika melihatnya.
4. Pemikiran
tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)
Kerjasama usaha
yang umum dilakukan dalam bisnis diantaranya syirkah, mudharabah,
wakalah dan sebagainya. Di sini akan dikemukakan tentang perbedaan
pendapat di antara ulama dalam beberapa aspek kerjasama usaha.
Tentang pembagian
keuntungan yang tidak sama dalam syirkah, imam Malik
menyatakan bahwa dalam syirkah ’inan, jika modal masing-masing sama tetapi
pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak
(batal). Sedang menurut imam Hanafi pembagian keuntungan yang tidak sama, meski
modal masing-masing pihak sama adalah boleh, jika memang telah ditentukan
demikian. Pembagian keuntungan tidak hanya didasarkan atas modal, tapi juga
atas masa kerja, besarnya tanggung jawab dan lainnya.[22]
Dalam
mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam beberapa aspek. Tentang
pembatasan masa kerjasama, menurut imam Malik, tidak dibolehkan karena tujuan
mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntungan. Batasan waktu akan
menghilangkan tujuan tersebut. Sedang menurut imam Hanafi, perjanjian kerjasama
mudharabah boleh dilakukan dalam jangka waktu tertentu karena pemilik modal
mempunyai hak untuk menghentikan atau membatalkan perjanjian kapan saja.
Selain itu,
tentang kerugian yang disebabkan oleh pengelola imam Malik, berpendapat bahwa
kerugian itu adalah tanggung jawab pengelola bukan pemilik modal. Sedang
menurut imam Hanafi, tanggung jawab atas kerugian ada pada pemilik modal bukan
pada pengelola karena itu adalah kelalaian pemilik modal yang menyerahkan modal
tanpa memperhitungkan kemungkinan baik buruknya.
Dalam
pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam Hanafi pemilik modal boleh ikut
bekerja. Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan adalah tanggung jawabnya
sendiri. pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan tetap mendapat upah atas
kerjanya. Sedang menurut imam Malik, pemilik modal tidak boleh ikut bekerja
karena akan mempersulit posisi pengelola[23].
Dalam penentuan
kegiatan pengelola (manajerial usaha), imam Malik berpendapat bahwa pemilik
modal tidak boleh membatasi gerak kegiatan pengelola karena pemilik modal belum
tentu lebih pandai dari pengelola. Sedang imam Hanafi berpendapat bahwa pemilik
modal boleh membatasi gerak kegiatan bisnis pengelola sebab pemilik modal pasti
lebih mengerti daripada pengelola.
5. Pemikiran
tentang Gadai
Dalam
operasional gadai terdapat beberapa aspek esensial yang membawa cara pandang
berbeda pada kalangan ulama. Menurut Imam Malik; jaminan dengan akad
(janji) saja telah dianggap cukup, meski barang yang dijadikan jaminan tidak
diserahkan pada pihak pemberi utang. Ini untuk orang-orang tertentu yang bisa
dipercaya kata-kata dan janjinya.
Sedang menurut
imam Hanafi, akad jaminan atau gadai tidak sah tanpa penyerahan barangnya. Ini
untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu yang tidak
sesuai dengan apa yang diucapkan[24].
Mereka biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan orang
lain.
Tentang
penguasaan kreditur atas barang jaminan terdapat perbedaan pandangan. Sedang
Menurut Imam Hanafi dan Malik; kreditur harus menguasai barang yang digadaikan
(barang yang dijadikan jaminan utang). Ia termasuk syarat sah gadai. Jika
barang gadai lepas dari tangannya, batal akad gadainya. Tetapi, jika kembalinya
barang kepada pemberi gadai tersebut karena persoalan utang atau titipan, akad
gadai tetap sah, tidak batal. Ini untuk orang yang memperhatikan agama dan
keadilan.
Sungguh,
kreditur tidak mengambil barang kecuali sebagai jaminan atas hak-haknya. Jika
barang yang digadaikan (yang dijadikan jaminan) lepas dari tangannya berarti
sama dengan tidak menerima jaminan dan ia tidak dapat ganti rugi jika terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sedemikian, sehingga penguasaan
kreditur atas barang jaminan termasuk syarat sah akad gadai.
Dalam praktek
gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan sebagai jaminan atas dua macam
utang, maka Menurut imam Hanafi, barang gadaian tetap hanya menjadi jaminan
atas utang yang pertama, tidak termasuk utang kedua. Sedang Menurut Imam Malik;
menjadikan barang jaminan untuk dua macam utang pada orang [25]yang
sama adalah boleh, jika pihak kreditur memang mau menerima hal tersebut.
Apalagi bagi orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka bahkan mau
menerima meski tanpa ada jaminan sekali pun.
Tentang
pemanfaatan barang gadai, menurut Imam Malik; kedua Imam tersebut sependapat
bahwa manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan (pemilik
barang). Murtahin tidak dapat mengambil manfaat daripadanya, kecuali atas izin
dari pihak yang menggadaikan.
Sedangkan
apabila barang yang digadaikan itu hewan yang dapat ditunggangi dan diperah,
maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dengan menunggangi dan memerah
susunya sesuai dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Sedang menurut
Imam Hanafi manfaat dari barang gadaian adalah hak penerima gadai, karena
barang gadaian berada di tangan dan kekuasaan penerima gadai.[26]
4.
PENGARUH
MAZHAF HANAFI DAN MALIKI DALAM PENGEMBANGN EKONOMI ISLAM
1. Konsep tentang Harta
Perbedaan konsep tentang harta dari
para imam mazhab ini menimbulkan pengaruh yang berbeda pula. Contohnya: tentang
pemanfaatan seseorang terhadap harta orang lain (ghasab), jika
mengikuti pendapat imam Malik, maka pemilik barang berhak menuntut ganti rugi
atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam Hanafi, pemilik
tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat tidak
termasuk dalam harta.
Contoh lain
adalah tentang wakaf. Menurut imam Hanafi kepemilikan barang
yang diwakafkan tidak harus lepas dari wakif dan dibenarkan
bagi wakif untuk menariknya kembali serta boleh menjualnya.
Sedang menurut imam
Malik, harta wakaf tidak lagi menjadi milik wakif melainkan
secara hukum menjadi milik Allah atau secara terminologi sosiologis harta wakaf
menjadi milik masyarakat umum dan wakiftidak boleh menariknya
kembali apalagi menjualnya.[27]
2.
Konsep tentang Riba
Semua mazhab menyatakan bahwa larangan
riba berlaku bagi barang yang memiliki satu (sub) sebab tunggal. Imam Hanafi
melarang jual beli makanan dengan tembaga secara kredit (keduanya ditimbang)
namun membolehkan jual beli makanan dengan garam secara kredit (salah satunya
ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara makanan
atau mata uang, mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Imam Hanafi. Yang
lebih kontemporer misalnya tentang minyak mentah. Menurut imam Hanafi minyak
mentah termasuk ribawi, tetapi tidak menurut Maliki.
Masih dalam konteks riba, pandangan
para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi pemikiran para pakar dalam
menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan Hadits yang
sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi
tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy yang berada di balik
ketentuan riba adalah tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran[28].
Ini juga yang kemudian mempengaruhi
pemikiran bahwa pinjama qard tanpa bunga sah, sedang jual beli
dengan penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan
harga sama yang dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur
ketidak setaraan dalam jual beli yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam
analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap dibayar, dapat diminta
sewaktu-waktu, sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan
mengurangi risiko pasarnya.
3. Konsep
tentang Jual Beli
Pada masa kini praktik jual beli telah
mengalami berbagai perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sesuai dengan
perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual beli hanya dengan
serah terima barang tanpa akad dalam praktik kekinian memunculkan implikasi
yang berbeda pula. Jika menurut Imam Hanafi, maka praktik jual beli dengan sistem
swalayan seperti dilakukan di minimarket / supermarket / departement store yang
hanya dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri dengan pembayaran tanpa
akad adalah tidak sah. Jika ada percekcokan antara penjual dan pembeli di
kemudian hari, hakim tidak bisa memeriksa dan menyelesaikan persoalan itu
karena tidak ada saksi atau bukti.
Dalam konteks kekinian dengan kian
maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata akad saja belum
memadai dan didukung bukti lain seperti kuitansi, akte dan sejenisnya untuk
memperkuat akad. Sedang jika menurut imam Malik jual beli dengan sistem
swalayan sah karena dengan adanya serah terima barang berarti sudah menunjukkan
kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela mereka tidak akan melakukannya[29].
4. Konsep
tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)
Dalam aktivitas ekonomi terutama bidang
keuangan dan perbankan konsep kerjasama usaha (kemitraan) ini akan selalu ada.
Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah dua pendapat berbeda ini
sama-sama memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap kebijakan penetapan
nisbah bagi hasil dan risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah. Jika
menurut pendapat imam Hanafi, pembagian keuntungan yang berbeda dibolehkan. Ini
diterapkan dalam pembagian keuntungan secara unproporsional sesuai kesepakatan.
Jadi dapat terjadi antar pihak yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan
yang tidak sama. Menurut pendapat imam Malik keuntungan harus dibagi sama
karena modal usaha pihak-pihak yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak
terpisah lagi[30].
Namun jika dianalisis lebih lanjut, mekanisme pembagian keuntungan usaha dalah
musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat imam Hanafi, yaitu boleh berbeda
sesuai dengan kontribusi (modal atau tenaga) yang diberikan.
Dalam praktik mudharabah, teknis yang
diterapkan diperbankan Syariah untuk penetapan jangka waktu kerjasama mengikuti
pendapat imam Hanafi yakni kerjasama tersebut harus ditentukan batas waktunya
dan bukan unlimited time agreement. Dalam hal penanggungan risiko kerugian yang disebabkan
kesalahan pengelola, ketetapan bank mengikuti pendapat imam Malik yaitu menjadi
tanggung jawab pengelola bukan pemilik dana.
Teknis lain di bank Syariah tentang
keikut sertaan pemilik dana dalam operasional usaha. Dalam mudharabah pemilik
dana tidak turut dalam pengelolaan usaha. Pengelolaan sepenuhnya dilakukan
pengelola dana. Ini merupakan implikasi dari pendapat imam Malik.
5. Konsep
tentang Gadai
Gadai mempunyai dua nilai akad yang
berjalan beriringan. Di satu sisi, rahn merupakan akad yang bersifat derma (social) sebab apa yang
diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak ditukar dengan sesuatu. Yang
diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah utang, bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad ini juga
bersifat komersial. Pihak yang berakad tidak boleh saling merugikan. Kebolehan
memanfaatkan barang jaminan meski dengan syarat tertentu juga mengisyaratkan
adanya unsur tersebut dalam akad ini. Dikenakan biaya jasa untuk prosedur gadai
di pegadaian juga menunjukkan indikasi komersialnya akad ini. Pengenaan biaya
jasa ini kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda dengan praktek pinjam
meminjam uang di bank.[31]
Secara umum praktik gadai tidak
terpengaruh oleh perbedaan pendapat para ulama. Yang menjadi esensi implikasi
pendapat para ulama fiqh ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah mengenai
penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang umum dipraktikkan di Indonesia
adalah barang gadai (yang menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti
pendapat imam Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya adalah
tentang pemanfaatan barang gadai. Umumnya, yang dipraktikkan adalah pihak
penerima gadai selalu memanfaatkan barang gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti
pendapat imam Hanafi.
Implikasi pendapat para imam fiqh ini
banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana praktik
gadai bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam hubungan
orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit membedakan adalah dari sisi
pemanfaatan barang gadai, di pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak
dimanfaatkan dan hanya disimpan sampai ditebus kembali oleh yang
menggadaikan. Ini mengikuti pendapat imam Malik.
5.
PENUTUP
Pendapat yang
berbeda dari imam mazhab tentang konsep
ekonomi didasari oleh pemikiran, sudut pandang dan adat kebiasaan yang berbeda
pada saat mereka mengeluarkan fatwa.
Perbedaan dan
pengaruh konsep ekonomi imam mazhab yang dikemukakan di atas merupakan konsep
utama dalam term ekonomi Islam, di samping masih banyak kajian dan konsep
mereka dalam ranah fiqh muamalah. Kelima konsep tersebut adalah konsep tentang harta, riba, jual
beli, kerjasama usaha (kemitraan) dan gadai.
DAFTAR
RUJUAKAN:
Antonio, M. Safi’i, Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Al Muslih, Abdullah, Salah as-Sahwi, Darul Haq 2004
Hamka, Studi Islam, Jakarta, Pustaka Panji mas 1985,
Hasan Halil, Rasyid, Dr. Tarikh
Tasyri’ al Islam, al Azhar Kairo, tanpa Tahun
Hasan, M.
Ali. Masail Fiqh Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, PT. Raja Raja Grafindo
Persada, 2000
-------------------. Perbandingan Mazhab Fiqih, PT. Grafindo
Persada, Jakarta, 2000
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, Al azhar Tanpa Tahun
Karim Adi Warman. , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Raja
Grafindo Persada, 2011
Masadi,
A. Gufron. Fiqih Muamalah Kontek tual .
Rajawali Press, Jakarta 2002
Soleh. Ahmad Chudori. Fikih Kontektual, Pelita, Jakarta, 1999
Sulthan
al-Ma’sumi al-Khajandi, Muhammad, Perlukah Bermazhab, Menteng Raya 62 tahun
1987
Syaih Muhammad Syalthut, Al Islam, Aqidah wal Syariah. Cet 1 1959
[1][1]
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab Fiqih,
PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Hal 1
[2]
Syaih Muhammad Syalthut, Al Islam, Aqidah
wal Syariah. Cet 1 1959, hal 68
[3]
Hamka, Studi Islam, Jakarta, Pustaka
Panji mas 1985, hal 3
[4]
Karim Adi Warman. , Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada,
2011 , hal 13
[5]
Ibid, hal 15
[6]
Hasan Halil, Rasyid, Dr. Tarikh Tasyri’ al Islam, al Azhar Kairo, tanpa Tahun,
hal 173
[7]
Ibid, hal 174
[8]
Ibid, hal 175
[9]
Ibid hal 176
[10]
Sulthan al-Ma’sumi al-Khajandi, Muhammad, Perlukah Bermazhab, Menteng Raya 62
tahun 1987 hal 91
[11]
Op Cit Hasan Halil, Rasyid, Dr hal, 177
[13]
Op cit, Hasan Halil, Rasyid, Dr hal 179
[14]
Ibid, hal 179
[15]
Ibid hal 181
[16]
Ibid hal 182
[17]
Ibid hal 184
[18] Masadi, A. Gufron. Fiqih Muamalah Kontek tual . Rajawali
Press, Jakarta 2002 hal 10
[20] Al Muslih, Abdullah, Salah as-Sahwi, Darul Haq 2004 hal 40
[23] Ibid hal 66
[24]
Ibid hal 41
[25]
Ibid hal 43
[26]
Ibid hal 45
[27]
Op Cit, Masadi . Ghufron , hal 149
[28]
Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, Al
azhar Tanpa Tahun hal 9
[29]
Op Cit, Masadi . Ghufron , hal 156
[30]
Antonio, M. Safi’i, Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal . 90
[31]
Hasan, M.
Ali. Masail Fiqh Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar