EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KAPITALIS
PENDAPAT FILOSOFIS DALAM PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
Nama: Aye Sudarto
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem
ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga pengambilan keputusan
yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap produksi, konsumsi dan
distribusi pendapatan[1].
Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian
suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks,
misalnya
ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi,
politik, sosial budaya, dan lain-lain.
Di
antara persoalan paling mendasar yang hingga kini dihadapi oleh sistem ekonomi
kapitalis adalah persoalan kesenjangan dan pemerataan. Meskipun hal tersebut
relative masih dapat diatasi yakni dengan program-program sosial pemerintah.
Kemudian persoalan termarginalkannya agama dari aspek konaumsi, produksi dan
distribusi[2].
Arus kehidupan yang terbentuk akibat dari sistem ekonomi di
atas, telah mengikis nilai-nilai gotong royong, musyawarah, tolong-menolong dan
kebersamaan dalam bingkai religius, sehingga mengakibatkan lahirnya kemiskinan
di tengah kemakmuran yang kondisi ini dapat bertentangan dengn nilai-nilai
moral dan agama, bahkan sangat menyimpang dari garis panduan Islam.
B. Permasalahan
Dalam Makahalh ini dirumuskan
permalahanaan sebagai berikut:
Apakah perbedaan
dan persamaan ekonomi syariah dan ekonomi kapitalis?
BAB II. POKOK-POKOK
EKONOMI SYARIAH
A. Kemunculan Ekonomi Syariah
Ilmu
ekonomi Syariah sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada
tahun 1970-an. Tetapi pemikir ekonomi syraiah ada semenjak diturunkan Islam.[3] Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi
Syariah melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Syariah’
memposisikan Ekonomi Syariah pada tempat yang sangat eksklusif.
Ekonomi
Syariah adalah satu sistem yang
mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi
Syariah merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi
seluruh umat[4].
Dengan ciri khasnya, ekonomi Syariah dapat menunjukkan jati dirinya dengan
segala kelebihannya pada setiap sistem
yang dimilikinya.
Ekonomi
Syariah mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang
mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia
mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas
dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara
horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
B. Prinsip Dasar Ekonomi
Syariah
Prinsip-prinsip
dasar ekonomi syariah adalah sebagai berikut[5]:
1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah
fondasi keimanan Islam.
2. Prinsip khilafah. Manusia adalah
khalifah Allah SWT di muka bumi. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1)
persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup
sederhana, (4) kebebasan manusia.
3. Prinsip keadilan. Keadilan adalah
salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1)
pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan
tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan
stabilitas.
C.
Landasan
Filosofi
Tujuan
utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan
yang rahmatan lil‘alamin.[6]
Tujuan utama ekonomi syariah adalah merealisasikan tujuan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah)[7],
serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).
Dengan
demikian tujuan sistem ekonomi syariah
adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan
hidup di dunia dan kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT
sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam
segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
D.
Pokok-pokok
Pikiran
a. Ekonomi Syariah Membentuk Islamic
Man
Ekonomi
syariah hendak membentuk manusia yang berkarakter Islamic man
(Ibadurrahman -Hamba-hamba
Tuhan yang Maha Penyayang )[8]. Islamic man dianggap
perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin,
Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan
kesuksesan hidup.
Islamic
man dalam
mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan,
tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau
tidak mubazir. Ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat
kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong, dan
peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk
menyenangkan orang lain[9].
b. Keseimbangan dalam Ekonomi Syariah
Ekonomi
Syariah yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga
mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah[10]. Dengan demikian,
perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang
kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.
Dalam
Ekonomi syariah yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas
manusia yang selalu memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti,
Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk.
Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia (inner
power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu
orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan
rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri
manusia itu disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak
aktiviti manusia. Karena kualitas hawa nafsu manusia berbeda-beda, maka
sangat wajar apabila kehendak satu orang dengan lainnya berbeda-beda pula.[11]
Secara
sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa[12]:
(a). Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, (b). Sistem
bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) (c). Adanya
keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara,
sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab
ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya inflasi. (d). Keadilan dalam
distribusi pendapatan dan harta. (e). Intervensi negara dalam roda
perekonomian.
c. Konsep Need Membawa
Maslahah
Menurut
Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan kehendaknya (want)
sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk
kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan keperluan (need) muncul dari
suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang
diperlukan untuk mendapatkan manfaat bagi kehidupan. Keperluan diarahkan oleh
rasionaliti normatif dan positif yaitu rasionaliti ajaran Islam, sehingga
bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya[13].
Seorang
muslim mengkonsumsi suatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi keperluannya
sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal
ini merupakan asas dan tujuan dari syariat Islam itu sendiri, yaitu maslahah
al-ibad (kesejahteraan hakiki untuk manusia), sekaligus sebagai cara
untuk mendapatkan falah yang maksimum.
Rasionaliti
dalam ekonomi syariah, senantiasa memperhatikan maslahah untuk
diri, keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau tidak
dibuang. Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan maslahah
adalah sebagai berikut:[14] (1). Menghindarkan diri dari sikap israf
(berlebih-lebihan melampaui batas). (2). Mengutamakan akhirat daripada
dunia. (3). Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah,
hajiyyah, dan tahsiniyyah- primer, skunder dan terier)
(4). Memperhatikan etika
BAB III. POKOK-POKOK EKONOMI
KAPITALIS
A.
Kemunculan
Ekonomi Kapitalis
Sistem
ekonomi kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan
Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan
pengaruh besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya. Lahirnya sistem
ekonomi kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari
perkembangan pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya[15].
Bukan
soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik beratnya
diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang dibebaskan untuk
berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan dirinya. Laiser
aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak)
menjadi pedoman bagi persaingan mereka[16].
Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu
untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang
bebas. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini
akhirnya menimbulkan sistem ekonomi kapitalis.
B.
Landasan
Filosofi Ekonomi kapitalis
Landasan
filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah materialisme dan sekularisme.
Pengertian manusia sebagai homo economicus atau economic
man adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia selalu
dianggap memiliki, serakah atau rakus terhadap materi. Dalam sistem ekonomi
kapitalis, materi adalah sangat penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama
perekonomian[17].
Dari sinilah sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham yang
menjadikan kapital (modal/material) sebagai isme.
Adam
Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri
sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan
tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam
mekanisme pasar[18]. Landasan filosofi
sistem ekonomi kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang
bersifat spiritual dan material (atau agama dan dunia) secara
dikotomis.. Implikasinya
menempatkan manusia sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris)
yaitu manusia yang berhak menentukan kehidupannya sendiri.
C.
Pokok-pokok
pikiran
Karakteristik
umum kapitalisme antara lain[19]:
a. Ekspansi kekayaan yang dipercepat
dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan menurut preferensi
individual sebagai sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan manusia.
b. Kebebasan individu yang tak
terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri sendiri dan kepemilikan
atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai suatu hal yang sangat penting bagi
inisiatif individu
c. Inisiatif individu ditambah dengan
pembuatan keputusan yang terdesentralisasi dalam suatu pasar yang kompetitif
sebagai syarat utama untuk mewujudkan efisiensi optimum dalam alokasi
sumberdaya ekonomi.
d. Bahwa melayani kepentingan diri
sendiri oleh setiap individu secara otomatis akan melayani kepentingan sosial
kolektif.
Adapun konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi kapitalis adalah sebagai berikut[20]:
Rational economic man, Positivism, Hukum Say[21].
BAB. IV. KESIMPULAN
A. Di
antara persamaanya itu adalah:
1.
Kedua
ekonomi ini: Mengakui adanya kepemilikan pribadi
2.
Dalam
kedua system ekonomi ini memberikan kebebasan untuk mencari harta.
3.
Dalam
ekonomi Syariah dan ekonomi Kapitalis sama-sama memberikan penghargaan terhadap
rasional dan persaingan dalam berusaha.
4.
Ekonomi
Syariah dan ekonomi Kapitalis berorientasi pada mendapatkan keuntungan.
B. Di antara perbedaanya itu adalah:
1.
Rasionaliti
dalam ekonomi konvensional adalah rational economics man
Sedangkan dalam ekonomi syariah jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic
man (‘Ibadurrahman)
2.
Tujuan
utama ekonomi syariah adalah mencapai falah di dunia dan
akhirat, sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi.
3.
Sumber
utama ekonomi syariah adalah al-Quran dan al-Sunnah. Ekonomi konvensional yang
berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik.
4.
Ekonomi
syariah lebih menekankan pada
konsep need daripada want dalam menuju
maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want.
5.
Orientasi
dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi syariah tidak hanya ingin
mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah.
Ekonomi kapitalis: semata-mata mengutamakan keuntungan.
DAFTAR RUJUKAN
An-Nabhani. Taqyuddin, Membenagun
sitem ekonomi alternative perspektif Islam, Risalah Gusti. 1996.
Anto, M. B. Hendrie, Pengantar
Ekonomika Mikro Islami, Ekonisia, Yogyakarta:2003.
Arief
Budiman, Sosialisme, Kapitalisme dan
Agama dalam Mencari Ideologi Alternatif; Polemik Agama Pasca Ideologi
Menjelang Abad 21,
Ash Shader, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam, Zahra. Jakarta
2008.
Chapra, M. Umer, Masa Depan
Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of
Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press. 2001
Chapra Umer, , Islam and
Economic Challenge. Herndon USA: IIIT1995
Clive Hamilton, The Mystic Economist, Australia:
Hamilton. 1994,
Departemen Agama, Al quranul Karim. Pt sigma
ExtramediaArkanleema, tahun 2009.
Gregory, Paul R dan Stuart, Robert C,
Comparative Economic System, Boston: 1981 Houghton Miffin Company.
Heilbroner. Robert, Runtuhnya Peradaban Kapitalisme, Bumi
Aksara 1984
Mannan. M.A, 1993, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek (terj.), Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
Pusat pengkajian dan
pengembangan ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam, Rajawali Pers 2012.
Rahman. Afzalur. Doktrin ekonomi Islam Jilid 1. Dana Bakti Wakaf, 1995
Samuelson Paul dan Nordhaus William D., Microeconomic, New
York: McGraw-Hill,
Sanusi, Bachrawi. Tokoh pemikir dalam mazhab ekonomi, Penerbit Adi
Mahasta Jakarta, 2004
Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘asir,
al-Maktab al-Islami Beirut:1998.
[1]
Paul R Gregory dan Robert C Stuart, 1981, Comparative
Economic System, Boston: Houghton Miffin Company, hal. 16.
[2] Arief Budiman,
Sosialisme, Kapitalisme dan Agama dalam
Mencari Ideologi Alternatif; Polemik Agama Pasca Ideologi Menjelang Abad
21, hal 6
[3]
Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam, Rajawali Pers 2012. Hal 97 -125
[4]
Rahman. Afzalur. Doktrin ekonomi Islam Jilid 1. Dana Bakti Wakaf, 1995 hal 8 - 12
[5]
M. Umer Chapra, 2001, Masa Depan Ilmu
Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics:
An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, hal202 -206
[6] Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘asir,
al-Maktab al-Islami Beirut:1998, , hal. 68.
[7] Al-Quran menyebut kata falah dalam
40 tempat. Falah mencakup konsep kebahagiaan dalam dua dimensi
yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falah mencakup
tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup, (2) kebebasan dari kemiskinan, (3)
kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan dimensi akhirat, falah mencakup
tiga aspek juga, yaitu: (1) kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2)
kesejahteraan abadi, (3) berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya
dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah
al-tayyibah). Lihat M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro
Islami, Ekonisia, Yogyakarta:2003, hal. hal.
7.
[8] Departemen Agama, Al
quranul Karim. Pt sigma ExtramediaArkanleema, tahun 2009. Surah Al Furqon
(25) ayat 63)
[9]
Ibid , lihat Surah al Baqorah ayat 215, tentang bersedekah lihat Surah Al Lail (92), 18-19 tentang Menafkahkan harta di jalan Allah
[12] Ash Shader, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam, Zahra. Jakarta 2008, Hal 147 -149
[13] Op cit. Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi Islam (P3EI). Hal129 -134
[14]M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, 2003, hal 129-131. Lihat M.A Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek (terj.), Yogyakarta:, Dana Bhakti
Wakaf, 1993 hal. 48
[15]
Sanusi, Bachrawi. Tokoh pemikir dalam mazhab
ekonomi, Penerbit Adi Mahasta Jakarta, 2004 hal 42
[16] Ibid hal 50. Lihat juga An-Nabhani. Taqyuddin, Membenagun sitem ekonomi alternative
perspektif Islam, Risalah Gusti. 1996. Hal 29
[17] Heilbroner. Robert,
Runtuhnya Peradaban Kapitalisme, Bumi Aksara 1984 hal 17 - 18
[18] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, Microeconomic, New
York: McGraw-Hill, 2001, hal. 30-31 dan 216
[20] M. Umer Chapra, , Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan
Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001, hal.23-28. Lihat
juga M. B. Hendrie Anto, Pengantar
Ekonomika Mikro Islami, ,Ekonisia, Yogyakarta: 2003 hal. 353
[21]
Jean Babtis Say menyatakan bahwa supply creates its
own demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi
pada asumsi bahwa tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi.
Lihat M. B. Hendrie Anto, , Pengantar Ekonomika Mikro
Islami, Yogyakarta: EKONISIA, 2003, hal. 353
Tidak ada komentar:
Posting Komentar