Senin, 29 Februari 2016

LEMBAGA KEUANGAN ISLAM

Konsep organisasi atau lembaga sesungguhnya sudah dikenal sejak sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul. Darun Nadwah, sebuah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat jahiliyah dan berfungsi untuk merembuk masalah-masalah kemasyarakatan. Organisasi ini mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena di dalamnya berkumpul para tokoh
dan perwakilan suku, mereka saling bertukar fikiran dan berdiskusi untuk mencapai titik kesepakatan.
Muhammad SAW setelah dilantik menjadi Rasul, merasa  perlu membuat perkumpulan atau organisasi. Dengan organisasi ini, rencana dakwah dan ekspansinya akan lebih mudah disosialisasikan. Pada tahap awal penyiaran Islam, beliau membentuk Dârul Arqâm. Yakni organisasi dakwa yang di dalamnya dilakukan pengkaderan secara intensif untuk membentuk pribadi muslim yang tangguh. Sentra kegiatan dimulai dari rumah sahabat Arqom bin Abil Arqom Al Makhzumi yang berada di puncak bukit shafa dan terpencil dari pengintaian orang-orang Quraisy. Peristiwa ini terjadi semenjak tahun kelima dari kenabian.[1]
Peristiwa hijrah, semakin memperteguh keyakinan nabi dan  para sahabatnya tentang pentingnya sentral kegiatan umat. Maka  nabipun membangun masjid Quba. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat sholat dan ibadah mahdah lainnya, tetapi lebih luas dari itu, yakni tempat musyawarah urusan masyarakat. Tempat ini juga berfungsi untuk menyatukan antara kaum Muhajirin dan Anshor. Kemudian nabi membangun  masjid lain yang lebih besar yakni masjid Nabawi. Masjid ini yang selanjutnya menjadi sentral pemerintahan.[2]
Lembaga Baitul Mâl  (rumah dana), merupakan lembaga bisnis dan sosial yang pertama dibangun oleh nabi. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan. Apa yang dilaksanakan oleh rasul merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) secara transparan dan bertujuan seperti apa yang disebut sekarang sebagai berorientasi kesejahteraan (welfare oriented).[3]
Kehadiran lembaga ini membawa pembaruan yang besar. Dana-dana  umat, baik yang bersumber dari dana  sosial dan  tidak wajib seperti sedekah, denda (dam), dan juga dana-dana yang wajib seperti zakat, jizyah dikumpulkan melalui lembaga Baitul Mâl dan disalurkan untuk kepentingan umat.[4]
Hakekat hadis dari nabi Muhammad SAW mengenai pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara memberikan bentuk kesucian pada Baitul Mâl. Lembaga ini sampai diidentifikasi sebagai lembaga trust (kepercayaan) umat Islam dengan khalifah sebagai trustee. Ia bertanggung jawab atas setiap sen uang yang terkumpul dan pendistribusiannya. Bagaimanapun dengan terjadi degenerasi di kalangan umat Islam konsep ini menjadi kabur dan oleh penguasa yang korup, menjadikan Baitul Mâl  untuk kepentingan pribadi mereka.[5]
Baitul Mâl  dibagi menjadi tiga;
a.    Baitul Mâl Khas: merupakan perbendaharaan kerajaan atau dana rahasia. Dana ini khusus untuk pengeluaran pribadi raja dan keluarganya, dana pengawal raja serta hadiah bagi tamu-tamu kerajaan.
b.    Baitul Mâl: merupakan sejenis bank sentral untuk kerajaan. Namun pola operasionalnya sebatas kepentingan kerajaan seperti mengatur keuangan kerajaan. Model Baitul Mâl  ini sistem pengelolaannya sangat sentralsitik. Pengelola tertinggi berada di tangan raja. Di bawah raja terdapat gubernur yang membawahi wilayah propinsi masing-masing.
c.    Baitul Mâl  Al Islamin: merupakan Baitul Mâl  yang berfungsi secara luas untuk kepentingan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Fungsi-fungsi mencakup kesejahteraan seluruh warga tanpa memandang jenis kelamin, ras dan bahkan agama Baitul Mâl  jenis ini bertempat di masjid-masjid utama kerajaan. Di pusat dikelola oleh Qâdhi dan di provinsi dikelola oleh rekan Qâdhi. Tugas khalifah adalah mengawasi jalannya masing-masing Baitul Mâl, supaya setiap penerimaan dapat dipisahkan sesuai dengan sumbernya dengan penggunaan yang tepat. [6]
Sepeninggal Rasulullah SAW, tradisi yang sudah dibangun oleh nabi diteruskan oleh para pemimpin setelahnya. Tradisi bermusyawarah terlihat ketika pengangkatan Abu Bakar Asyiddiq menggantikan kepemimpinan Islam. Akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar sebagai pengganti nabi Muhammad SAW.[7]
Oleh Abu Bakar, kebiasaan memungut zakat sebagai bagian dari ajaran Islam dan sebagai sumber keuangan negara. Bahkan terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang. Abu Bakar sebagai yang pertama akan memerangi kaum riddah. Tindakan khalifah ini didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin. Untuk memerangi kemurtadan (riddah) ini maka dibentuklah sebelas pasukan. Riddah adalah kelompok yang membangkang terhadap perintah membayar zakat dan mengaku sebagai nabi, sehingga semuanya kembali ke jalan yang benar atau gugur di jalan Allah sebagai syuhada.[8]
Lembaga Baitul Mâl semakin mapan keberadaannya semasa khalifar kedua, Umar bin Khattab. Khalifah meningkatkan basis pengumpulan dana zakat serta sumber-sumber penerimaan lainnya. Sistem administrasinya sudah mulai dilakukan penerbitan. Umar memiliki kepedulian yang tinggi atas kemakmuran rakyatnya. Pada masa Umar mulai dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah.[9] Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua bagian. Bagian pertama warga negara muslim dan bagian kedua warga non muslim yang damai (dhimmi). Bagi warga negara muslim, mereka diwajibkan membayar zakat sedangkan yang dhimmi diwajibkan membayar kharaj dan jizyah. Bagi muslim diperlakukan hukum Islam dan bagi dhimmi diperlakukan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku. Untuk mencapai kemakmuran yang merata, wilayah Syiria yang padat penduduknya dinyatakan tertutup untuk pendatang baru. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah mendirikan Baitul Mâl . Pada masa Umar mata uang sudah mulai dibuat. [10]
Umar sering berjalan sendiri untuk mengontrol mekanisme pasar. Apakah telah terjadi kezalimaan yang merugikan rakyat dan konsumen. Khalifah memberlakuakan kuota perdagangan kepada para pedagangan dari Romawi dan Persia karena kedua negara tersebut memperlakuakan hal yang sama kepada para pedagang Madinah. Kebijakan ini sama dengan sistem perdagangan intenasional modern yang dikenal dengan prinsip timbal balik (principle of reciprocity).[11] Umar menetapakan kebijakan fiskal yang sangat popular tetapi mendapat keritikan dari kalangan sahabat ialah menetapkan tanah takluakan Iraq bukan untuk tentara kaum muslimin sebagaimana biasanya tentang ghanimah, tetapi dikembalikan kepada pemiliknya. Khalifah kemudian menetapkan kebijakan kharaj (pajak bumi) kepada penduduk Iraq tersebut. Semua kebijakan khalifah Umar Bin Khattab ditindaklanjuti oleh khalifah selanjutnya, yakini Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Tholib, yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa lembaga keuangan baitul Mâl  telah berfungsi sangat strategis baik masa rasulullah maupun khulafaur rashidin. Melalui baitul Mâl  ini, para pemimpin Islam sangat serius mampu mengentaskan kemiskinan ummat dan membangun sistem moneter. Kesejahetraan rakyat menjadi fokus utama dalam pembangunan ekonomi.[12]
Semasa pemerintahan khulafaur rashidin penataan sitem pemerintah berjalan dengan baik. Agar mekanisme pemerintahan berjalan secara baik, dibentuk organisasi agama Islam (Dawlah Islamiyah) yang garis besarnya sebagai berikut:
a.    An-Nizam as-Siyasi (organisasi politik) yang mencakup:
1)        Al-Khilafah; terkait dengan pemilihan pemimpin/khalifah.
2)         Al-Wizarah; terkait dengan wazir (menteri) yang bertugas membantu khalifah untuk urusan pemerintahan.
3)        Al-Kitabah; terkait dengan pengangkatan oraang yang mengurusi kesekretariatan negara.
b.    An-Nizamul Idary; organisasi tata usaha negara/administrasi negara, saat itu masih sangat sederhana mencakup pembentukan dewan-dewan, pemimpin propinsi, pos dan jawatan kepolisian.
c.    An-NizamulMâl; organisasi keuangan negara, mengelola masuk dan keluarnya keuangan negara. Untuk itu dibentuk Baitul Mâl. Termasuk di dalamnya sumber-sumber keuangan.
d.    An-Nizamul Harby; organisasi ketentaraan yang meliputi susunan tentara, gaji tentara, persenjataan, pengadaan asrama tentara serta benteng-benteng pertahanan.
e.    An-Nizamul Qada’i; organisasi kehakiman yang mengurusi masalah pengadilan, banding dan damai.[13]



[1]  Syaikh Syaifurrahman al Mubarakfiry, Sirah Nabawiyah, Terjemahan Kathur Suhardi: Pustaka Al Kautsar, Jakarta :1998 hal.126 
[2] M. Syafi’I Antonio dan Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam dalam Perspektif Sejarah, ICMI Bandung: 1995 hal.35 
[3] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah Yogyakarka: UPP AMP YKPN :2003 hal.23 
[4] Ibid., hal.66
[5]  Muhammad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad, A Select Anthology of  Hadith Literature on Economic, Terjemahan Bank Muamalat Indonesia Islamabad: International Institute of Islamnic Economicsm :1996 hal.212
[6] M. Abdul Manan, Islamic Economic Theory and Practice, Terjemahan M. Nastangin Yogyakarka: Dana Bakti Wakaf: 1993 hal.181
[7] Syaikh Syaifurrahman al Mubarakfiry, Op cit., hal. 621
[8] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam, IAIN Suka dan LESFI, Yogyakarta:2002 hal.56
[9] Syibli Nu’man, Umar yang Agung, Pustaka Jaya, Bandung: 1981, hal. 264. 
[10] Nouruzzaman Shiddiqi, Tamadun Muslim Bulan Bintang, Jakarta: 1986 , hal 121. 
[11] Ibid,. hal 27
[12] Ibid
[13] Muhammad, Op cit., hal.67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar