Konsep organisasi atau lembaga sesungguhnya sudah
dikenal sejak sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul. Darun Nadwah, sebuah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
jahiliyah dan berfungsi untuk merembuk masalah-masalah kemasyarakatan.
Organisasi ini mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena di dalamnya
berkumpul para tokoh
dan perwakilan suku, mereka saling bertukar fikiran dan
berdiskusi untuk mencapai titik kesepakatan.
Muhammad SAW setelah dilantik menjadi Rasul,
merasa perlu membuat perkumpulan atau
organisasi. Dengan organisasi ini, rencana dakwah dan ekspansinya akan lebih
mudah disosialisasikan. Pada tahap awal penyiaran Islam, beliau membentuk Dârul Arqâm. Yakni organisasi dakwa yang
di dalamnya dilakukan pengkaderan secara intensif untuk membentuk pribadi
muslim yang tangguh. Sentra kegiatan dimulai dari rumah sahabat Arqom bin Abil
Arqom Al Makhzumi yang berada di puncak bukit shafa dan terpencil dari pengintaian
orang-orang Quraisy. Peristiwa ini terjadi semenjak tahun kelima dari kenabian.[1]
Peristiwa hijrah, semakin memperteguh keyakinan nabi
dan para sahabatnya tentang pentingnya
sentral kegiatan umat. Maka nabipun
membangun masjid Quba. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat sholat
dan ibadah mahdah lainnya, tetapi lebih luas dari itu, yakni tempat musyawarah
urusan masyarakat. Tempat ini juga berfungsi untuk menyatukan antara kaum Muhajirin dan Anshor. Kemudian nabi membangun
masjid lain yang lebih besar yakni masjid Nabawi. Masjid ini yang selanjutnya
menjadi sentral pemerintahan.[2]
Lembaga Baitul Mâl
(rumah dana), merupakan lembaga
bisnis dan sosial yang pertama dibangun oleh nabi. Lembaga ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan. Apa yang dilaksanakan oleh rasul merupakan proses
penerimaan pendapatan (revenue collection)
dan pembelanjaan (expenditure) secara
transparan dan bertujuan seperti apa yang disebut sekarang sebagai berorientasi
kesejahteraan (welfare oriented).[3]
Kehadiran lembaga ini membawa pembaruan yang besar.
Dana-dana umat, baik yang bersumber dari
dana sosial dan tidak wajib seperti sedekah, denda (dam), dan juga dana-dana yang wajib
seperti zakat, jizyah dikumpulkan
melalui lembaga Baitul Mâl dan
disalurkan untuk kepentingan umat.[4]
Hakekat hadis dari nabi Muhammad SAW mengenai
pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara memberikan bentuk kesucian pada Baitul Mâl. Lembaga ini sampai
diidentifikasi sebagai lembaga trust
(kepercayaan) umat Islam dengan khalifah
sebagai trustee. Ia bertanggung jawab
atas setiap sen uang yang terkumpul dan pendistribusiannya. Bagaimanapun dengan
terjadi degenerasi di kalangan umat Islam konsep ini menjadi kabur dan oleh
penguasa yang korup, menjadikan Baitul Mâl
untuk kepentingan pribadi mereka.[5]
Baitul Mâl dibagi menjadi tiga;
a. Baitul Mâl Khas: merupakan perbendaharaan kerajaan atau dana rahasia. Dana ini khusus
untuk pengeluaran pribadi raja dan keluarganya, dana pengawal raja serta hadiah
bagi tamu-tamu kerajaan.
b. Baitul Mâl: merupakan sejenis bank sentral untuk kerajaan. Namun pola operasionalnya
sebatas kepentingan kerajaan seperti mengatur keuangan kerajaan. Model Baitul
Mâl ini sistem pengelolaannya sangat
sentralsitik. Pengelola tertinggi berada di tangan raja. Di bawah raja terdapat
gubernur yang membawahi wilayah propinsi masing-masing.
c. Baitul Mâl Al Islamin: merupakan Baitul Mâl yang berfungsi
secara luas untuk kepentingan masyarakat, baik muslim maupun non muslim.
Fungsi-fungsi mencakup kesejahteraan seluruh warga tanpa memandang jenis
kelamin, ras dan bahkan agama Baitul Mâl jenis ini bertempat di masjid-masjid utama
kerajaan. Di pusat dikelola oleh Qâdhi
dan di provinsi dikelola oleh rekan Qâdhi.
Tugas khalifah adalah mengawasi
jalannya masing-masing Baitul Mâl,
supaya setiap penerimaan dapat dipisahkan sesuai dengan sumbernya dengan
penggunaan yang tepat. [6]
Sepeninggal Rasulullah SAW, tradisi yang sudah
dibangun oleh nabi diteruskan oleh para pemimpin setelahnya. Tradisi
bermusyawarah terlihat ketika pengangkatan Abu Bakar Asyiddiq menggantikan
kepemimpinan Islam. Akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar sebagai pengganti
nabi Muhammad SAW.[7]
Oleh Abu Bakar, kebiasaan memungut zakat sebagai
bagian dari ajaran Islam dan sebagai sumber keuangan negara. Bahkan terjadi
peperangan antara sahabat yang taat kepada kepemimpinan beliau melawan
orang-orang yang membangkang. Abu Bakar sebagai yang pertama akan memerangi
kaum riddah. Tindakan khalifah ini
didukung oleh hampir seluruh kaum muslimin. Untuk memerangi kemurtadan (riddah) ini maka dibentuklah sebelas
pasukan. Riddah adalah kelompok yang
membangkang terhadap perintah membayar zakat dan mengaku sebagai nabi, sehingga
semuanya kembali ke jalan yang benar atau gugur di jalan Allah sebagai syuhada.[8]
Lembaga Baitul Mâl
semakin mapan keberadaannya semasa khalifar kedua, Umar bin Khattab.
Khalifah meningkatkan basis pengumpulan dana zakat serta sumber-sumber
penerimaan lainnya. Sistem administrasinya sudah mulai dilakukan penerbitan.
Umar memiliki kepedulian yang tinggi atas kemakmuran rakyatnya. Pada masa Umar mulai
dilakukan penertiban gaji dan pajak tanah.[9] Terkait dengan masalah
pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua bagian. Bagian pertama warga
negara muslim dan bagian kedua warga non muslim yang damai (dhimmi). Bagi warga negara muslim,
mereka diwajibkan membayar zakat sedangkan yang dhimmi diwajibkan membayar kharaj
dan jizyah. Bagi muslim
diperlakukan hukum Islam dan bagi dhimmi
diperlakukan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku. Untuk mencapai kemakmuran
yang merata, wilayah Syiria yang padat penduduknya dinyatakan tertutup untuk
pendatang baru. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah mendirikan Baitul Mâl . Pada masa Umar mata uang
sudah mulai dibuat. [10]
Umar sering berjalan sendiri untuk mengontrol mekanisme
pasar. Apakah telah terjadi kezalimaan yang merugikan rakyat dan konsumen.
Khalifah memberlakuakan kuota perdagangan kepada para pedagangan dari Romawi
dan Persia karena kedua negara tersebut memperlakuakan hal yang sama kepada
para pedagang Madinah. Kebijakan ini sama dengan sistem perdagangan
intenasional modern yang dikenal dengan prinsip timbal balik (principle of reciprocity).[11] Umar menetapakan
kebijakan fiskal yang sangat popular tetapi mendapat keritikan dari kalangan
sahabat ialah menetapkan tanah takluakan Iraq bukan untuk tentara kaum muslimin
sebagaimana biasanya tentang ghanimah,
tetapi dikembalikan kepada pemiliknya. Khalifah kemudian menetapkan kebijakan kharaj (pajak bumi) kepada penduduk Iraq
tersebut. Semua kebijakan khalifah Umar Bin Khattab ditindaklanjuti oleh
khalifah selanjutnya, yakini Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Tholib, yang
menarik untuk diperhatikan ialah bahwa lembaga keuangan baitul Mâl telah berfungsi
sangat strategis baik masa rasulullah maupun khulafaur rashidin. Melalui baitul
Mâl ini, para pemimpin Islam sangat
serius mampu mengentaskan kemiskinan ummat dan membangun sistem moneter.
Kesejahetraan rakyat menjadi fokus utama dalam pembangunan ekonomi.[12]
Semasa pemerintahan khulafaur rashidin penataan sitem pemerintah berjalan dengan baik.
Agar mekanisme pemerintahan berjalan secara baik, dibentuk organisasi agama
Islam (Dawlah Islamiyah) yang garis
besarnya sebagai berikut:
a. An-Nizam as-Siyasi (organisasi politik) yang mencakup:
1)
Al-Khilafah; terkait dengan pemilihan pemimpin/khalifah.
2)
Al-Wizarah; terkait dengan wazir
(menteri) yang bertugas membantu khalifah untuk urusan pemerintahan.
3)
Al-Kitabah; terkait dengan pengangkatan oraang yang mengurusi
kesekretariatan negara.
b.
An-Nizamul Idary; organisasi tata usaha negara/administrasi
negara, saat itu masih sangat sederhana mencakup pembentukan dewan-dewan,
pemimpin propinsi, pos dan jawatan kepolisian.
c.
An-NizamulMâl; organisasi keuangan negara, mengelola
masuk dan keluarnya keuangan negara. Untuk itu dibentuk Baitul Mâl. Termasuk di
dalamnya sumber-sumber keuangan.
d.
An-Nizamul Harby; organisasi ketentaraan yang meliputi susunan
tentara, gaji tentara, persenjataan, pengadaan asrama tentara serta
benteng-benteng pertahanan.
e.
An-Nizamul Qada’i; organisasi kehakiman yang mengurusi masalah
pengadilan, banding dan damai.[13]
[1] Syaikh
Syaifurrahman al Mubarakfiry, Sirah
Nabawiyah, Terjemahan Kathur Suhardi: Pustaka Al Kautsar, Jakarta :1998 hal.126
[2] M. Syafi’I Antonio dan Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam dalam Perspektif Sejarah, ICMI Bandung: 1995 hal.35
[5] Muhammad Akram
Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad, A Select Anthology of Hadith Literature on Economic, Terjemahan
Bank Muamalat Indonesia Islamabad: International Institute of Islamnic
Economicsm :1996 hal.212
[6] M. Abdul Manan, Islamic
Economic Theory and Practice, Terjemahan M. Nastangin Yogyakarka: Dana
Bakti Wakaf: 1993 hal.181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar