Rabu, 18 Desember 2013

EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KAPITALIS

EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KAPITALIS
PENDAPAT FILOSOFIS DALAM PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
Nama: Aye Sudarto

BAB I.     PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan[1]. Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks, misalnya
ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi, politik, sosial budaya, dan lain-lain.
Di antara persoalan paling mendasar yang hingga kini dihadapi oleh sistem ekonomi kapitalis adalah persoalan kesenjangan dan pemerataan. Meskipun hal tersebut relative masih dapat diatasi yakni dengan program-program sosial pemerintah. Kemudian persoalan termarginalkannya agama dari aspek konaumsi, produksi dan distribusi[2].
Arus kehidupan yang terbentuk akibat dari sistem ekonomi di atas, telah mengikis nilai-nilai gotong royong, musyawarah, tolong-menolong dan kebersamaan dalam bingkai religius, sehingga mengakibatkan lahirnya kemiskinan di tengah kemakmuran yang kondisi ini dapat bertentangan dengn nilai-nilai moral dan agama, bahkan sangat menyimpang dari garis panduan Islam.
B.     Permasalahan
Dalam Makahalh ini dirumuskan permalahanaan sebagai berikut:
Apakah perbedaan  dan persamaan  ekonomi syariah dan ekonomi kapitalis?
BAB II.  POKOK-POKOK EKONOMI SYARIAH

A.     Kemunculan Ekonomi Syariah
Ilmu ekonomi Syariah sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada tahun 1970-an. Tetapi pemikir ekonomi syraiah ada semenjak diturunkan Islam.[3]  Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi Syariah melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Syariah’ memposisikan Ekonomi Syariah pada tempat yang sangat eksklusif.
Ekonomi Syariah  adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Syariah merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat[4]. Dengan ciri khasnya, ekonomi Syariah dapat menunjukkan jati dirinya dengan segala kelebihannya  pada setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Syariah mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
B.      Prinsip Dasar Ekonomi Syariah
Prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah adalah sebagai berikut[5]:
1.   Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam.
2.   Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
3.    Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
C.      Landasan Filosofi
Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin.[6] Tujuan utama ekonomi syariah adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah)[7], serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).
Dengan demikian tujuan sistem ekonomi syariah  adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.



D.     Pokok-pokok Pikiran
a.      Ekonomi Syariah Membentuk Islamic Man
Ekonomi syariah hendak membentuk manusia yang berkarakter Islamic man (Ibadurrahman -Hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang )[8].  Islamic man  dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Islamic man dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau tidak mubazir. Ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong, dan peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk menyenangkan orang lain[9].
b.      Keseimbangan dalam Ekonomi Syariah
Ekonomi Syariah yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah[10].  Dengan demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.
Dalam Ekonomi syariah yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas manusia yang selalu memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti, Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk. Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia (inner power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri manusia itu disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak aktiviti manusia. Karena kualitas hawa nafsu manusia berbeda-beda, maka sangat wajar apabila kehendak satu orang dengan lainnya berbeda-beda pula.[11]
Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa[12]: (a). Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, (b). Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) (c). Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya inflasi. (d). Keadilan dalam distribusi pendapatan dan harta. (e). Intervensi negara dalam roda perekonomian.
c.       Konsep Need Membawa Maslahah
Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan kehendaknya (want) sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan keperluan (need) muncul dari suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan manfaat bagi kehidupan. Keperluan diarahkan oleh rasionaliti normatif dan positif yaitu rasionaliti ajaran Islam, sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya[13].
Seorang muslim mengkonsumsi suatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi keperluannya sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini merupakan asas dan tujuan dari syariat Islam itu sendiri, yaitu maslahah al-ibad (kesejahteraan hakiki untuk manusia), sekaligus sebagai cara untuk mendapatkan falah yang maksimum.
Rasionaliti dalam ekonomi syariah, senantiasa memperhatikan  maslahah untuk diri, keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau tidak dibuang. Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan maslahah adalah sebagai berikut:[14]   (1).  Menghindarkan diri dari sikap israf  (berlebih-lebihan melampaui batas). (2). Mengutamakan akhirat daripada dunia. (3). Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah- primer, skunder dan terier) (4). Memperhatikan etika


BAB  III. POKOK-POKOK EKONOMI KAPITALIS

A.     Kemunculan Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya. Lahirnya sistem ekonomi kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya[15].
Bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan dirinya. Laiser aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi persaingan mereka[16]. Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang bebas. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini akhirnya menimbulkan sistem ekonomi kapitalis.
B.      Landasan Filosofi  Ekonomi kapitalis
Landasan filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah materialisme dan sekularisme. Pengertian manusia sebagai homo economicus atau economic man adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia selalu dianggap memiliki, serakah atau rakus terhadap materi. Dalam sistem ekonomi kapitalis, materi adalah sangat penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama perekonomian[17]. Dari sinilah sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham yang menjadikan kapital (modal/material) sebagai isme.
Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar[18].  Landasan filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material (atau agama dan dunia) secara dikotomis.. Implikasinya  menempatkan manusia sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris) yaitu manusia yang berhak menentukan kehidupannya sendiri.  
C.     Pokok-pokok pikiran
Karakteristik umum kapitalisme antara lain[19]:
a.    Ekspansi kekayaan yang dipercepat dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan menurut preferensi individual sebagai sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan manusia.
b.      Kebebasan individu yang tak terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri sendiri dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai suatu hal yang sangat penting bagi inisiatif individu
c.       Inisiatif individu ditambah dengan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi dalam suatu pasar yang kompetitif sebagai syarat utama untuk mewujudkan efisiensi optimum dalam alokasi sumberdaya ekonomi.
d.      Bahwa melayani kepentingan diri sendiri oleh setiap individu secara otomatis akan melayani kepentingan sosial kolektif.
Adapun konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi kapitalis adalah sebagai berikut[20]: Rational economic man,  Positivism,  Hukum Say[21].



BAB. IV. KESIMPULAN

A.    Di antara persamaanya  itu adalah:
1.      Kedua ekonomi ini: Mengakui adanya kepemilikan pribadi
2.      Dalam kedua system ekonomi ini memberikan kebebasan untuk mencari harta.
3.      Dalam ekonomi Syariah dan ekonomi Kapitalis sama-sama memberikan penghargaan terhadap rasional dan persaingan dalam berusaha.
4.      Ekonomi Syariah dan ekonomi Kapitalis berorientasi pada mendapatkan keuntungan.
B.      Di antara perbedaanya  itu adalah:
1.      Rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah rational economics man  Sedangkan dalam ekonomi syariah jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic man (‘Ibadurrahman)
2.      Tujuan utama ekonomi syariah adalah mencapai falah di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi.
3.      Sumber utama ekonomi syariah adalah al-Quran dan al-Sunnah. Ekonomi konvensional yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik.
4.   Ekonomi syariah  lebih menekankan pada konsep need daripada want dalam menuju maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want.
5.   Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi syariah tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Ekonomi kapitalis: semata-mata mengutamakan keuntungan.


DAFTAR RUJUKAN
An-Nabhani. Taqyuddin, Membenagun sitem ekonomi alternative perspektif Islam, Risalah Gusti. 1996.
Anto, M. B. Hendrie, Pengantar Ekonomika Mikro Islami,  Ekonisia, Yogyakarta:2003.
Arief Budiman, Sosialisme, Kapitalisme dan Agama dalam Mencari Ideologi Alternatif; Polemik Agama Pasca Ideologi Menjelang Abad 21,
Ash Shader, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam, Zahra. Jakarta 2008.
Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press. 2001
Chapra Umer, , Islam and Economic Challenge. Herndon USA: IIIT1995
Clive Hamilton, The Mystic Economist, Australia: Hamilton. 1994, 
Departemen Agama, Al quranul Karim. Pt sigma ExtramediaArkanleema, tahun 2009.
Gregory, Paul R dan Stuart, Robert C, Comparative Economic System, Boston: 1981 Houghton Miffin Company.
Heilbroner. Robert, Runtuhnya Peradaban Kapitalisme, Bumi Aksara 1984
Mannan. M.A, 1993, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
Pusat pengkajian dan pengembangan  ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam, Rajawali Pers 2012.
Rahman. Afzalur. Doktrin ekonomi Islam Jilid 1. Dana Bakti Wakaf, 1995
Samuelson Paul dan Nordhaus William D., Microeconomic, New York: McGraw-Hill,
Sanusi, Bachrawi. Tokoh pemikir  dalam mazhab ekonomi, Penerbit Adi Mahasta Jakarta, 2004
Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘asir,  al-Maktab al-Islami Beirut:1998.






[1] Paul R Gregory dan Robert C Stuart, 1981, Comparative Economic System, Boston: Houghton Miffin Company, hal. 16.
[2] Arief Budiman, Sosialisme, Kapitalisme dan Agama dalam Mencari Ideologi Alternatif; Polemik Agama Pasca Ideologi Menjelang Abad 21, hal  6
[3] Pusat pengkajian dan pengembangan  ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam, Rajawali Pers 2012. Hal 97 -125
[4] Rahman. Afzalur. Doktrin ekonomi Islam Jilid 1. Dana Bakti Wakaf, 1995 hal 8 - 12
[5] M. Umer Chapra, 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, hal202 -206
[6] Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘asir,  al-Maktab al-Islami Beirut:1998, , hal. 68.
[7] Al-Quran menyebut kata falah dalam 40 tempat. Falah mencakup konsep kebahagiaan dalam dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falah mencakup tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup, (2) kebebasan dari kemiskinan, (3) kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan dimensi akhirat, falah mencakup tiga aspek juga, yaitu: (1) kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2) kesejahteraan abadi, (3) berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah al-tayyibah). Lihat M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami,  Ekonisia, Yogyakarta:2003, hal. hal. 7.
[8] Departemen Agama, Al quranul Karim. Pt sigma ExtramediaArkanleema, tahun 2009. Surah Al Furqon (25) ayat 63)
[9] Ibid , lihat Surah  al Baqorah ayat 215, tentang bersedekah  lihat Surah Al Lail (92), 18-19 tentang Menafkahkan harta di jalan Allah
[10] Clive Hamilton, 1994, The Mystic Economist, Australia: Hamilton, hal. 158-161
[11] Lihat QS Asy-Syams: 7-10 Lihat QS Yusuf: 53; al-Qiyamah: 2; al-Fajr: 27
[12] Ash Shader, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam, Zahra. Jakarta 2008, Hal  147 -149
[13] Op cit. Pusat pengkajian dan pengembangan  ekonomi Islam (P3EI). Hal129 -134
[14]M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, 2003, hal 129-131. Lihat  M.A Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Yogyakarta:, Dana Bhakti Wakaf, 1993 hal. 48
[15] Sanusi, Bachrawi. Tokoh pemikir  dalam mazhab ekonomi, Penerbit Adi Mahasta Jakarta, 2004 hal 42
[16] Ibid  hal 50. Lihat juga An-Nabhani. Taqyuddin, Membenagun sitem ekonomi alternative perspektif Islam, Risalah Gusti. 1996. Hal 29
[17] Heilbroner. Robert, Runtuhnya Peradaban Kapitalisme, Bumi Aksara 1984 hal 17 - 18
[18] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, Microeconomic, New York: McGraw-Hill, 2001, hal. 30-31 dan 216
[19] Umer Chapra, , Islam and Economic Challenge. Herndon USA1995: hal  3
[20] M. Umer Chapra, , Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hal.23-28. Lihat juga M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, ,Ekonisia, Yogyakarta: 2003 hal. 353
[21] Jean Babtis Say menyatakan bahwa supply creates its own demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Lihat  M. B. Hendrie Anto, , Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, 2003, hal. 353

Tidak ada komentar:

Posting Komentar