Sabtu, 20 Juni 2015

Politik dan Kebijakan Ekonomi Bidang BUMN






Bab I. Pendahuluan

Era reformasi ini, salah satu tantangan mewujudkan pemerintahan yang baik adalah menyangkut masalah pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tuntutan ini adalah wajar, karena pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia selama ini BUMN dikelola secara tidak transparan, kurang profesional, sarat KKN dan jauh dari prinsip good corporate governance (GCG). Kinerja BUMN masih lebih banyak salah urus
dari pada yang benar dan secara ekonomi tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya.
Suatu kenyataan bahwa ternyata BUMN yang diharapkan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi dengan harapan keuntungan besar yang dapat meningkatkan penerimaan negara hanya menghasilkan laba yang rendah bahkan banyak yang merugi. Hal ini disebabkan kinerja BUMN belum optimal dan dalam pengelolaannya belum diterapkan secara tegas tentang tata kelola yang baik. Pengelolaan BUMN pada umumnya birokratis sehingga ruang gerak BUMN tidak lugas dan kaku, terlalu banyak aturan yang membatasi segala gerak pengembangan, perlu persetujuan menteri. Keterkaitan BUMN dengan departemen atau instansi sering merupakan kendala dalam pelaksanaan dan efisiensi keuangan serta kinerjanya.[1]
Sebagai entitas bisnis, peran BUMN dapat dikatakan cukup dominan, jumlahnya mencapai ratusan perusahaan dan asetnya secara total mencapai ratusan triliun rupiah dengan ruang lingkup usaha yang rata-rata cukup strategis. Dengan skala usaha seperti itu, tidak heran jika tindak tanduk yang dilakukan BUMN selalu mendapat sorotan tajam masyarakat. Sorotan ini berkaitan dengan terjadinya gap antara fasilitas yang disandang BUMN dengan harapan masyarakat. Di satu sisi BUMN bergerak dengan dukungan fasilitas penuh baik dari segi modal, perlakuan maupun sektoral, tapi di pihak lain harapan masyarakat untuk memperoleh manfaat besar dari keberadaan BUMN belum dapat diwujudkan secara optimal. Malah tidak jarang yang terjadi justru yang sebaliknya, beberapa BUMN justru menjadi beban masyarakat karena senantiasa menggerogoti anggaran pemerintah.[2]
Di Indonesia peranan BUMN tidak hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang merupakan porsi swasta. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, monopoli atas sumber daya dan kegiatan ekonomi tertentu yang berada di tangan negara. Implikasi dari dominannya peran negara menjadikan BUMN terjebak dalam satu kekuasaan birokrasi, yang merupakan kepanjangan tangan dari penguasa baik langsung maupun tidak langsung dan sarat dengan kepentingan politik. Hal ini, salah satu unsur yang membuat BUMN tidak dapat berkembang secara leluasa layaknya badan usaha.[3]
BUMN merupakan bagian dari birokrasi yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten” yang kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju mundur dan tidak mampu bersaing.[4]
Globalisasi dunia telah membawa dampak yang dahsyat dan signifikan bagi kelangsungan hidup (survivalitas) BUMN. Globalisasi yang ditandai dengan adanya perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah data perekonomian, politik dan budaya. Pergerakan arus barang dan jasa semakin cepat. Modal dari suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan teknologi informasi. Persaingan menjadi semakin tinggi, bahkan kita sulit mengidentifikasi siapa pesaing sesungguhnya.
BUMN harus mampu memperkuat dirinya sendiri terhadap berbagai peluang dan resiko yang akan dihadapinya dengan cara memperbaiki daya saingnya serta memastikan dirinya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangannya (sustainable growth). BUMN-BUMN yang mampu memanfaatkan momentum globalisasi yang akan eksis dan berpeluang mendapatkan keuntungan besar bagi kelangsungan usahanya.
Kebutuhan untuk mereformasi BUMN nampaknya merupakan suatu keharusan dan hal yang tidak dapat ditawar lagi. Kebutuhan ini tidak terlepas dari upaya untuk menjadikan BUMN berperan benar,  sebagai perusahaan kelas dunia dan memberikan manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945.[5] Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya saing, pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui manajemen yang dinamis profesional untuk memasuki dan berkompetisi dalam era globalisasi, serta keleluasaan perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya.
Dalam kerangka inilah, upaya implementasi prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN merupakan kata kunci dan langkah yang rasional. Praktik-praktik kurang terpuji akibat belum adanya standar etika bisnis dapat membuat situasi ekonomi semakin memburuk. Oleh karena itu, praktik-praktik bisnis dengan standar etika dan transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness serta profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan perlu terus didorong agar perkembangan BUMN senantiasa diikuti dengan perangkat praktik-praktik GCG yang memadai.
Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana dampak kebiajakan privatisasai BUMN, Model privatisasai BUMN  yang manakah yang sesuai dengan kondisi BUMN saat ini dan bgaiamana Islam Melihat Privatisasi BUMN?



BAB II. PRIVATISASI ATAU SWASTANISASI

Privatisasi   pada   intinya   didefinisikan   sebagai   proses perpindahan   tanggung   jawab   dan   fungsi   yang   selama   ini. dilaksanakan pemerintah kepada swasta. Jadi mencakup hal yang lebih  luas  dari  sekedar  penjualan  saham.  
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN makna privatisasi dengan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham masyarakat. Pengertian  privatisasi dibedakan dari restrukturisasi. Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan (pasal 1 ayat 11). Tujuan restrukturisasi adalah pertama,  meningkatkan  kinerja  dan nilai  perusahaan,   kedua, memberi manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara, ketiga, menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen dan keempat memudahkan privatisasi.[6]
Undang-undang yang sama mendefinisikan privatisasi sebagai penjualan  saham Persero, baik  sebagian  maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat  serta memperluas pemilikan  saham  oleh masyarakat(pasal   1  ayat   12). Lebih jauh  bab  VIII  pasal  74  sampai  86 membahas tentang privatisasi dengan lebih rinci. Pengertian privatisasi dapat pula dilihat dalam Keppres no. 122 tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi yang menyebutkan bahwa privatisasi adalah pengalihan atau penyerahan sebagian kontrol atas sebuah BUMN kepada  swasta  antara  lain melalui eara penawaran umum, penjualan saham seeara langsung kepada mitra strategis, penjualan saham perusahaan kepada karyawan dan atau cara lain yang dipandang tepat.
Ada tiga tahap yang harus dipertimbangkan dalam privatisasi yaitu pertama tahap persiapan, kedua  tahap  implementasi program privatisasi  dan  ketiga tahap monitoring terhadap terlaksananya perjanjian privatisasi. Dari tiga tahap ini yang terpenting adalah tahap pertama. Persiapan .yang dikerjakan dengan baik  akan membentuk suatu landasan bagi keberhasilan program privatisasi.[7] Dalam tahap persiapan   ini   dibutuhkan   edukasi,   organisasi   dan   mobilisasi terhadap empat kelompok yaitu:
1.      Politisi, baik yang bergerak dalam kepemimpinan eksekutif maupun legislatif,
2.      Publik dalam hal ini adalah konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkan BUMN tersebut,
3.      Manajer     dan     karyawan,     yaitu     kelompok   diluar kepemimpinan politik, atau lebih tepatnya pegawai BUMNyang profesional, para penyelia dan pekerja tidak terampil yang  dimiliki.  Mereka  inilah  yang  pertama  kali  akan terkena dampak privatisasi,
4.      Komunitas bisnis, yaitu pebisnis baik lokal maupun asing. Mereka dibutuhkan untuk mendapatkan, menyewa atau mengelola aktifitas yang dimiliki pemerintah.[8]
Negara Eropa Timor, yaitu menyerahkan BUMN secara langsung kepada rakyat dengan memberi mereka hak eksklusif untuk membeli saham Program ini unggul dalam hal kecepatan dan keadilan dalam proses privatisasi selain mengandung pula sifat non-diskriminatif. Cara ini dilakukan pula  oleh negara­ negara yang pasar modalnya tidak maju[9]
Voucher dapat pula diprioritaskan untuk    buruh    dan    karyawan    perusahaan bersangkutan. Kelemahan sistem ini adalah pertama, program tidak menghasilkan uang tunai bagi BUMN atau pemerintah karena   dilaksanakan   sebagai   penjualan   kredit kepada manajer dan karyawan, kedua, tidak mendatangkan teknik baru   atau   keahlian   manajerial   dalam   mengelola perusahaan, ketiga, tidak membentuk mekanisme pengawasan yang efektif untuk perusahaan-perusahaan hasil privatisasi ini.
Dalam  UU No.l9  tahun 2003 tentang  BUMN,  pasal 78 disebutkan tiga cara melaksanakan privatisasi yaitu pertama, penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, kedua penjualan  saham langsung kepada investor dan ketiga penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan[10]. Namun demikian, sejak dimulainya proses privatisasi pada tabun1991 sampai  saat ini secara urnurn dua metode  privatisasi  yang paling banyak digunakan oleh pemerintah adalah metode pertama  . yang kemudian  populer  dengan sebutan IPO  atau Initial Public Offering  dan  Strategic  Sales (SS)  atau penjualan  kepada  Mitra strategis.
Bagaimanapun juga  kedua  metode  ini  mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Prosedur penjualan BUMN melalui Metode SS relatif lebih sederhana karena pemerintah hanya menunjuk investor strategis yang akan membeli saham di BUMN yang akan diprivatisasi yang sebelumnya diawali dengan tender (yang terkadang tendemya kurang transparan). Namun metode ini cenderung kurang memberikan hasil yang optimal mengingat kurang adanya transparansi dan kompetisi diantara calon pembeli dan kemungkinan terjadinya insider trading sangat besar.
Kasus terakhir yang menggunakan metode ini adalah privatisasi PT. IND0SAT  yang disinyalir oleh banyak pihak tidak sepenuhnya transparan. Nitai jual yang tidak optimal menimbulkan kecurigaan  adanya  "invisible foe"  yang  harus  ditanggung  oleh investor. Dalam kondisi saat ini di mana moral dan keterbukaan pihak-pihak yang terkait dengan proses privatisasi masih perlu dipertanyakan, maka metode ini kurang tepat diterapkan pada BUMN strategis yang berkaitan langsung dengan kebutuhan mendasar masyarakat, seperti yang terjadi pada PT. INDOSAT.
Sementara itu dalam metode IPO transparansi puhlik lebihnyata   karena pemerintah   harus   mempublikasikan   prospektus BUMN yang akan diprivatisasi sehingga bisa diketahui oleh masyarakat. Melalui metode ini  optimalisasi nilai hasil jual saham BUMN yang diprivatisasi akan lebih terjamin karena pada penawaran   saham   perdana,   pemerintahlah   yang   menentukan kisaran harga saham dan kisaran jumlah saham yang dijual. Selain itu, metode  ini memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk turut serta dalam kepemilikan saham BUMN yang akan diprivatisasi.
Cara ketiga  yang tercantum  dalam UU BUMN  adalah Employee  Management  Buyouts  (EMBO).  Metode  ini memberi kesempatan kepada karyawan dan manajer BUMN yang bersangkutan  untuk memiliki saham. Metode ini dilakukan oleh Malaysian Airways dimana sebagian saham dijual kepada direksi dan ternyata rasa memiliki ini mampu mendongkrak kinerja perusahaan. Untuk kasus Indonesia, pelaksanaan EMBO diutamakan untuk BUMN dimana tumpuan utama operasionalnya adalah SDM   (misal   bidang   konstruksi),   dengan   melibatkan koperasi karyawan. Awalnya saham dibeli oleh koperasi karyawan, kemudian   koperasi   membuka  peluang   bagi   karyawan   untuk membeli dengan cicilan'',
Metode lain yang bisa menjadi altematif  adalah dengan memberikan      kesempatan      kepada     pemerintah      daerah     untuk memiliki  saham  BUMN  yang ada di daerahnya.  Metode  ini sejalan dengan  semangat desentralisasi dalam kerangka  otonomi  daerah yang memberikan kesempatan luas kepada daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya. Salah satu cara adalah dengan ikut  serta  membangun  dan  meningkatkan  kinerja  BUMN  yangmemanfaatkan potensi yang ada di daerahnya.
Dalam pandangan Islam, terkait kepemilikan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalil yang digunakan untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab: [11]"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).
Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut. Adapun al-kala' adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu baka[12].
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi al-shari' yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.




BAB. III. PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA

Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, seyogyanya dikuasai oleh BUMN[13]. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar lokasi BUMN.
Dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sementara itu, saat ini Pemerintah Indonesia masih harus berjuang untuk melunasi pinjaman luar negeri yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997 lalu. Dan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah dengan melakukan privatisasi BUMN.
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi. Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang penting seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis.
Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau konglomerat tertentu. Sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu diperlukan perombakan hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat membantu perkembangan dan menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah. Seharusnya program privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik menjadi milik swasta. Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang berujung pada kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk., ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar modal.[14]  Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya
Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk penjualan saham kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil penjualan saham-saham BUMN tersebut masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka mengembangkan usahanya.
Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh pendapatan penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang menguntungkan, karena dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana segar yang cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan operasionalnya terdahulu yang sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.
Islam memberi patokan pada kita untuk tidak dikendalikan pihak asing (Q-3: 118, Q-5:51, dan Q-2:120)[15]. jadi  dalam mengalihkan kepemilikan kita pada pihak asing, haruslah sedemikian rupa sehingga peran mereka tidak  dominan,  dan  mereka  tidak  mengendalikan   penyediaan barang danjasa  yang vital bagi masyarakat.
Artinya   lagi  jika   saham  yang  akan dialihkan  adalah  100 persen dan diantara pembeli potensial adalah pihak asing, kenapa tidak dijual kepada beberapa pihak. Atau dengan perkataan lain, saham ini dibagi-bagi, sehingga tidak satupun mendominasi yang lain. Pihak yang harus memperoleh saham cukup  berarti adalah . masyarakat  domestik dan karyawan yang telah  menyumbangkan tenaganya, sehingga rasa kepemilikan mereka dapat terjaga dengan baik.
Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi  saham kepada pihak asing ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing dinilai akan menyebabkan terbangnya keuntungan BUMN kepada pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.
A.                Kebijakan negara  terkait BUMN
Kedaulatan    politik   akan   kehilangan    makna   jika    tidak  barengi   oleh kemandirian   ekonomi  yang  menjadi  prasyarat   dasar  bagi  terjaganya  otonomi dalam   pembuatan   kebijakan  nasional.   Semakin  tinggi  kemandirian   ekonomi, semakin tinggi pula otonomi dalam pembuatan  kebijakan nasional. Dalam hal ini, kemandirian  ekonomi dipahami sebagai kemampuan  negara untuk memenuhi kebutuhan   masyarakatnya,   baik  kebutuhan   dasar  (basic needs)  seperti  sandang, pangan  dan  papan,  maupun   pelayanan-pelayanan    dasar  (basic services)  berupa pendidikan   dan  kesehatan.  Negara  memiliki  tanggungjawab   untuk  merancang dan  menjamin  bahwa  seluruh  kebijakan  ekonomi  diarahkan   untuk  memenuhi dua jenis kebutuhan  tersebut.[16]
Sejak beberapa tahun belakangan, Pemerintah terus menggencarkan program Holding sektoral menuju Superholding perusahaan-perusahaan BUMN tanpa ada kriteria yang jelas. Tak pelak, banyak kalangan yang menilai Holding bukan untuk penyehatan BUMN, namun diduga untuk kepentingan privatisasi.Istilah Holding BUMN bukanlah hal baru ditelinga masyarakat Indonesia
Mantan Sekretaris Menteri Negara BUMN, Muhammad Said Didu, mengatakan bahwa sekitar 85% saham BUMN yang berstatus Go Public di lantai bursa dikuasai pihak asing. Dalam diskusi di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, beberapa waktu lalu, Didu menyatakan, “Walau dikuasai asing, kepemilikan tersebut tidak memiliki dampak negatif.”[17]
Peralihan kepemimpinan negara ke tangan Jokowi-JK tidak lantas menghentikan penjualan saham BUMN ke lantai bursa. Dalam waktu dekat, Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan menjual saham PTPN VII. Ditaksir Initial Public Offering (IPO) PTPN VII kemungkinan menjadi IPO holding BUMN terbesar sepanjang sejarah. Associate Director Investment Banking Mandiri Sekuritas, Muhammad Hanugroho, mengungkapkan, “Ini (penjualan) holding besar, bisa dibilang largest in the world. Total ekuiti holding saja Rp22 triliun. Bayangkan asetnya bisa Rp70-80 triliun.” Tren ini kelak diikuti oleh perusahaan perkebunan lainnya, padahal sektor perkebunan merupakan sektor penting guna memenuhi kebutuhan pangan nasional. Mimpi Jokowi untuk mewujudkan kedaulatan pangan pun semakin “jauh panggang dari pada api”[18].
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, sejauh ini belum memberi sinyal akan melakukan pembelian kembali saham BUMN dari pihak asing. Meski ada tuntutan dari DPR untuk membeli kembali saham PT Indosat Tbk. Langkah berbeda dilakukan pemerintah awal tahun ini, Presiden Joko Widodo berencana menyuntikkan dana ke perusahaan plat merah yang bergerak di sektor infrastruktur. “Kita sedang bangun kepercayaan. Kita punya ruang fiskal yang longgar dari kebijakan BBM subsidi, kita alihkan ruang fiskal itu untuk proyek infrastruktur, sehingga kita akan suntik modal ke perusahaan-perusahaan BUMN dalam mempercepat infrastruktur,” ujar Presiden Joko Widodo di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (2/1).[19]



B.                 Pro-Kontra Mengenai Privatisasi
Sebagai sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih disikapi secara pro dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra tersebut.
1. Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi
a.       Peningkatan efisiensi, kinerja dan produktivitas perusahaan yang diprivatisasi
BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional dengan kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN. tidak adanya persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.[20]  
Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung dengan peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan proteksi perusahaan yang diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien. Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.[21]
b.      Mendorong perkembangan pasar modal
Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.[22] Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru yang masuk ke pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat mengurangi defisit dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung perkembangan pasar modal.[23]
c.       Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah
Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari penjualan saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang ditujukan kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan yang beroperasi lebih produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian, privatisasi dapat menolong untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus mengatasi tekanan inflasi.
2.      Alasan-Alasan Yang Menolak Program Privatisasi
Beberapa alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana telah dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra. Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, produktivitasnya rendah dan kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan tersebut berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya menjadi lebih bagus. Padahal, pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan negara yang merugi dan tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan mencapai profit, dan setelah itu baru kemudian dijual.[24]
Alasan untuk meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi penjualan aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana layaknya penjualan, penerimaan pendapatan itu diiringi dengan kehilangan pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika ternyata pembelinya dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih berkedudukan di Indonesia, namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal menjadi milik perusahaan asing.[25]
C.    Mereformasi BUMN di Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat.[26] Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia adalah kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu pengelolaan BUMN agar dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus dapat beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat menyediakan produk-produk vital yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga harus berupaya memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang vital bagi hajat hidup rakyat banyak, sehingga tentu akan sangat merugikan rakyat jika BUMN jatuh bangrut atau pailit.
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.[27]  Privatisasi BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian yang terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share) yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan atau manajemen BUMN.
Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti: [28]
1.                  Ukuran nilai privatisasi ;
2.                  Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
3.                  Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
4.                  Kondisi pasar ;
5.                  Status perusahaan, apakah telah go public atau belum ; dan
6.                  Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak  swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN jatuh ke tangan pihak asing.
Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal. Idealnya, sebelum diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya direstrukturisasi terlebih dahulu, sehinga pasca privatisasi nanti, kinerja BUMN yang bersangkutan dapat mengalami peningkatan. Landasan hukum privatisasi juga hrus kuat, sehingga saat sebuah BUMN diprivatisasi, tidak ada lagi kontroversi yang sifatnya merugikan. Sedangkan dari segi politis, harus ada kesepahaman antara segenap rakyat, pemerintah dan para pengambil kebijakan publik, sehingga semuanya sepakat bahwa  privatisasi akan membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.
Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karena sebenarnya, kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene akan menentukan nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program ini dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu sendiri, akan tercapai efisiensi dan perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal akan sangat membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi BUMN akan memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai pengelola bidang-bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan sumber daya vital tersebut untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.



BAB. IV KESIMPULAN

Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis. Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan.
Islam membolekan privatisasi, dalam kerangka penyebaran dan pemerataan kepemilikian public. Islam melarang swastanisasi asset asset penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini selayaknya tetap di kuasai oleh negara sepenihnya, untuk kemakmuran rakyat.


DAFTAR RUJUKAN

Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia, Grasindo Jakarta, 2002
Depar Temen Agama RI, Al Quran dan Terjemahan,  tahun 2002
Hasan Djuhaendah, Pengelolaan Kekayaan BUMN dan Permasalahannya. FH-UNPAD, 2007,
http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/ Di Akses  tanggal 15 November 2014
Ibrahim R., Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.1-Tahun 2007,
I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2002,
Kwik Gian Gie, Analisis Ekonomi Politik di Indonesia, Gramedia Jakarta 1994
Lance Marston,  Preparing for  Privatization: A  Decision­  akers Checklist in Steve hanke  (ed.),  Privatization and Development, International   Center for Economic  Growth. 1987;
Labib Rahmat S., Privatisasi Dalam Pandangan Islam, wadi Press Jakrta  tahun 2005 
Muhammad Al-Shawkani.,Nayl al-Awtar, jilid 6, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah (Bangil: al-Izzah, 2001),
Rianto Nugroho, BUMN Indonesia, Issu, Kebijakan dan Strategi, Media Komputindo, Jakarta 2005
Rianto Nugroho, Mangament Privatisasi BUMN, Media Komputindo, Jakarta, tahun 2008
Suparman Sastrawidjaja, Eksistensi BUMN Sebagai Perusahaan, FH-UNPAD, 2007,.
UU No 19 tahun 2003, secretariat Negara
Undang-undang Dasar 1945




[1] Djuhaendah Hasan, Pengelolaan Kekayaan BUMN dan Permasalahannya. FH-UNPAD, 2007, hal. 10-11.
[2] I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2002, hal. 347.
[3] Ibid., hlm. 348
[4] Ibrahim R., Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.1-Tahun 2007, hlm. 12.
[5] Suparman Sastrawidjaja, Eksistensi BUMN Sebagai Perusahaan, FH-UNPAD, 2007, hlm. 10.
[6] Lihat UU No 19 tahun 2003, secretariat Negara
[7] Marston,   Lance,     Preparing for  Privatization: A  Decision­  akers Checklist in Steve hanke  (ed.),  Privatization and Development, International   Center for Economic  Growth. 1987; HAL 10
[8] Ibid
[9] Ibid hal 12
[10] Lihat UU No 19 tahun 2003, secretariat Negara
[11] Al-Shawkani, Muhammad.,Nayl al-Awtar, jilid 6, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

[12] Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah (Bangil: al-Izzah, 2001), 91.
[13] Lihat Undang-undang Dasar 1945
[14] http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/ Di Akses  tanggal 15 November 2014
[15] Depar Temen Agama RI, Al Quran dan Terjemahan,  tahun 2002
[16] Visi Misi Jokowi Yusuf Kala, hal  28-29
[17] Republika Online, 5 Januari 2015
[18] http://membunuhindonesia.net/2015/01/asing-menguasai-85-saham-bumn/
[19] Ibid
[20] Rahmat S.Labib, Privatisasi Dalam Pandangan Islam, wadi Press Jakrta  tahun 2005 hal.21
[21] Ibid
[22] Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia, Grasindo Jakarta, 2002 hal.176
[23] Rahmat S.Labib, op.cit, hal.46
[24] Ibid, hal.47
[25] Kwik Gian Gie, Analisis Ekonomi Politik di Indonesia, Gramedia Jakarta 1994 hal.138
[26] http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/ Di Akses  tanggal 15 November 2014
[27] Ibid
[28] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar