Bab I. Pendahuluan
Era
reformasi ini, salah satu tantangan mewujudkan pemerintahan yang baik adalah
menyangkut masalah pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tuntutan ini
adalah wajar, karena pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia selama ini BUMN
dikelola secara tidak transparan, kurang profesional, sarat KKN dan jauh dari
prinsip good corporate governance (GCG). Kinerja BUMN masih lebih banyak salah
urus
dari pada yang benar dan secara ekonomi tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya.
dari pada yang benar dan secara ekonomi tidak sebanding dengan besar aset yang dimilikinya.
Suatu
kenyataan bahwa ternyata BUMN yang diharapkan sebagai motor penggerak
pembangunan ekonomi dengan harapan keuntungan besar yang dapat meningkatkan
penerimaan negara hanya menghasilkan laba yang rendah bahkan banyak yang
merugi. Hal ini disebabkan kinerja BUMN belum optimal dan dalam pengelolaannya
belum diterapkan secara tegas tentang tata kelola yang baik. Pengelolaan BUMN
pada umumnya birokratis sehingga ruang gerak BUMN tidak lugas dan kaku, terlalu
banyak aturan yang membatasi segala gerak pengembangan, perlu persetujuan
menteri. Keterkaitan BUMN dengan departemen atau instansi sering merupakan
kendala dalam pelaksanaan dan efisiensi keuangan serta kinerjanya.[1]
Sebagai
entitas bisnis, peran BUMN dapat dikatakan cukup dominan, jumlahnya mencapai
ratusan perusahaan dan asetnya secara total mencapai ratusan triliun rupiah dengan
ruang lingkup usaha yang rata-rata cukup strategis. Dengan skala usaha seperti
itu, tidak heran jika tindak tanduk yang dilakukan BUMN selalu mendapat sorotan
tajam masyarakat. Sorotan ini berkaitan dengan terjadinya gap antara fasilitas
yang disandang BUMN dengan harapan masyarakat. Di satu sisi BUMN bergerak
dengan dukungan fasilitas penuh baik dari segi modal, perlakuan maupun
sektoral, tapi di pihak lain harapan masyarakat untuk memperoleh manfaat besar
dari keberadaan BUMN belum dapat diwujudkan secara optimal. Malah tidak jarang
yang terjadi justru yang sebaliknya, beberapa BUMN justru menjadi beban
masyarakat karena senantiasa menggerogoti anggaran pemerintah.[2]
Di Indonesia peranan BUMN tidak
hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat
hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan produksi dan pelayanan yang
merupakan porsi swasta. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, monopoli atas sumber
daya dan kegiatan ekonomi tertentu yang berada di tangan negara. Implikasi dari
dominannya peran negara menjadikan BUMN terjebak dalam satu kekuasaan
birokrasi, yang merupakan kepanjangan tangan dari penguasa baik langsung maupun
tidak langsung dan sarat dengan kepentingan politik. Hal ini, salah satu unsur
yang membuat BUMN tidak dapat berkembang secara leluasa layaknya badan usaha.[3]
BUMN merupakan bagian dari birokrasi
yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan
politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten”
yang kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju mundur dan tidak mampu
bersaing.[4]
Globalisasi dunia telah membawa
dampak yang dahsyat dan signifikan bagi kelangsungan hidup (survivalitas) BUMN.
Globalisasi yang ditandai dengan adanya perapatan dunia (compression of the
world) telah mengubah data perekonomian, politik dan budaya. Pergerakan arus
barang dan jasa semakin cepat. Modal dari suatu negara beralih ke negara lain
dalam hitungan detik akibat pemanfaatan teknologi informasi. Persaingan menjadi
semakin tinggi, bahkan kita sulit mengidentifikasi siapa pesaing sesungguhnya.
BUMN harus mampu memperkuat dirinya
sendiri terhadap berbagai peluang dan resiko yang akan dihadapinya dengan cara
memperbaiki daya saingnya serta memastikan dirinya untuk dapat mempertahankan
kelangsungan hidup dan perkembangannya (sustainable growth). BUMN-BUMN yang
mampu memanfaatkan momentum globalisasi yang akan eksis dan berpeluang
mendapatkan keuntungan besar bagi kelangsungan usahanya.
Kebutuhan untuk mereformasi BUMN
nampaknya merupakan suatu keharusan dan hal yang tidak dapat ditawar lagi.
Kebutuhan ini tidak terlepas dari upaya untuk menjadikan BUMN berperan benar, sebagai perusahaan kelas dunia dan memberikan
manfaat sesuai isi jiwa Pasal 33 UUD 1945.[5]
Fokus pengelolaan BUMN perlu diarahkan pada peningkatan daya saing,
pengembangan usaha dan penciptaan peluang-peluang baru melalui manajemen yang
dinamis profesional untuk memasuki dan berkompetisi dalam era globalisasi,
serta keleluasaan perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya.
Dalam kerangka inilah, upaya
implementasi prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam pengelolaan
BUMN merupakan kata kunci dan langkah yang rasional. Praktik-praktik kurang
terpuji akibat belum adanya standar etika bisnis dapat membuat situasi ekonomi
semakin memburuk. Oleh karena itu, praktik-praktik bisnis dengan standar etika
dan transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness
serta profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan perlu terus didorong agar
perkembangan BUMN senantiasa diikuti dengan perangkat praktik-praktik GCG yang
memadai.
Pertanyaan
selanjutnya adalah: Bagaimana dampak kebiajakan privatisasai BUMN, Model
privatisasai BUMN yang manakah yang
sesuai dengan kondisi BUMN saat ini dan bgaiamana Islam Melihat Privatisasi
BUMN?
BAB
II. PRIVATISASI ATAU SWASTANISASI
Privatisasi pada
intinya
didefinisikan sebagai
proses perpindahan tanggung jawab
dan
fungsi
yang
selama
ini. dilaksanakan pemerintah kepada swasta.
Jadi mencakup hal yang
lebih luas dari sekedar penjualan saham.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN makna
privatisasi dengan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,
memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan
saham masyarakat. Pengertian privatisasi dibedakan dari restrukturisasi.
Restrukturisasi adalah upaya yang
dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis
untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki
kinerja dan meningkatkan nilai
perusahaan (pasal 1 ayat
11). Tujuan restrukturisasi adalah pertama, meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, kedua, memberi manfaat berupa dividen
dan pajak kepada negara, ketiga,
menghasilkan produk dan layanan
dengan harga yang kompetitif kepada konsumen
dan keempat memudahkan privatisasi.[6]
Undang-undang yang sama mendefinisikan privatisasi sebagai penjualan saham
Persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam
rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat(pasal 1 ayat
12). Lebih jauh bab
VIII pasal 74 sampai 86 membahas tentang privatisasi dengan lebih rinci. Pengertian privatisasi dapat pula dilihat dalam Keppres no. 122 tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi yang menyebutkan bahwa
privatisasi adalah pengalihan atau penyerahan sebagian kontrol atas sebuah BUMN kepada swasta antara lain melalui
eara penawaran umum, penjualan saham seeara langsung kepada mitra strategis, penjualan saham perusahaan kepada karyawan dan atau cara lain yang dipandang tepat.
Ada tiga tahap yang harus
dipertimbangkan dalam privatisasi yaitu pertama tahap persiapan,
kedua tahap
implementasi program privatisasi dan ketiga tahap monitoring terhadap terlaksananya
perjanjian privatisasi. Dari tiga
tahap ini yang terpenting adalah tahap pertama. Persiapan .yang dikerjakan dengan baik akan membentuk suatu landasan
bagi keberhasilan program privatisasi.[7] Dalam tahap
persiapan ini dibutuhkan
edukasi, organisasi
dan
mobilisasi terhadap empat kelompok
yaitu:
1. Politisi, baik yang bergerak dalam kepemimpinan eksekutif maupun legislatif,
2. Publik dalam hal ini adalah konsumen
dari barang dan jasa
yang dihasilkan BUMN tersebut,
3.
Manajer dan
karyawan, yaitu
kelompok diluar kepemimpinan politik,
atau lebih tepatnya
pegawai BUMNyang profesional, para penyelia dan pekerja tidak terampil yang dimiliki. Mereka inilah
yang pertama
kali akan terkena
dampak privatisasi,
4.
Komunitas bisnis, yaitu pebisnis
baik lokal maupun
asing. Mereka dibutuhkan untuk mendapatkan, menyewa atau
mengelola aktifitas yang dimiliki pemerintah.[8]
Negara Eropa Timor, yaitu menyerahkan BUMN secara
langsung kepada rakyat dengan memberi
mereka hak eksklusif untuk membeli saham Program
ini unggul dalam hal kecepatan dan keadilan dalam proses privatisasi selain
mengandung pula sifat non-diskriminatif. Cara ini dilakukan pula oleh negara
negara yang pasar modalnya tidak maju[9].
Voucher dapat pula diprioritaskan untuk buruh
dan
karyawan perusahaan bersangkutan. Kelemahan sistem ini adalah
pertama, program tidak menghasilkan uang tunai bagi BUMN atau
pemerintah karena dilaksanakan sebagai
penjualan kredit kepada manajer dan karyawan, kedua, tidak
mendatangkan teknik baru atau
keahlian manajerial dalam
mengelola perusahaan, ketiga, tidak membentuk mekanisme pengawasan yang efektif untuk perusahaan-perusahaan hasil privatisasi ini.
Dalam UU No.l9 tahun
2003 tentang BUMN, pasal
78 disebutkan tiga cara melaksanakan privatisasi yaitu pertama, penjualan saham berdasarkan
ketentuan pasar modal, kedua
penjualan saham
langsung kepada investor
dan ketiga penjualan
saham kepada manajemen dan/atau karyawan
yang bersangkutan[10]. Namun demikian, sejak dimulainya proses privatisasi pada tabun1991 sampai saat
ini secara urnurn dua metode privatisasi yang paling banyak
digunakan oleh pemerintah
adalah metode pertama . yang
kemudian populer dengan sebutan
IPO atau
Initial Public Offering dan Strategic
Sales (SS) atau
penjualan kepada Mitra strategis.
Bagaimanapun juga kedua
metode ini mempunyai kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Prosedur
penjualan BUMN melalui Metode SS
relatif lebih sederhana karena
pemerintah hanya menunjuk investor strategis yang akan membeli saham di BUMN yang akan diprivatisasi yang sebelumnya diawali
dengan tender (yang terkadang
tendemya kurang transparan).
Namun metode ini cenderung kurang memberikan
hasil yang optimal mengingat
kurang adanya transparansi dan kompetisi
diantara calon pembeli dan kemungkinan terjadinya insider trading sangat besar.
Kasus terakhir yang
menggunakan metode ini adalah
privatisasi PT. IND0SAT yang
disinyalir oleh banyak pihak
tidak sepenuhnya transparan. Nitai jual yang tidak optimal menimbulkan kecurigaan adanya "invisible foe" yang
harus
ditanggung
oleh
investor. Dalam kondisi saat ini
di mana moral dan keterbukaan pihak-pihak yang terkait dengan proses privatisasi masih perlu dipertanyakan, maka metode ini kurang tepat diterapkan pada BUMN strategis
yang berkaitan langsung dengan kebutuhan mendasar masyarakat, seperti
yang terjadi pada PT. INDOSAT.
Sementara itu dalam metode IPO transparansi puhlik lebihnyata
karena pemerintah harus
mempublikasikan prospektus BUMN yang akan diprivatisasi sehingga bisa diketahui oleh masyarakat. Melalui metode ini optimalisasi nilai hasil jual saham BUMN yang diprivatisasi akan lebih terjamin karena pada
penawaran saham perdana, pemerintahlah yang
menentukan kisaran harga saham dan kisaran jumlah
saham yang dijual.
Selain itu, metode ini memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk turut serta dalam kepemilikan saham BUMN
yang akan diprivatisasi.
Cara ketiga yang
tercantum dalam UU BUMN
adalah Employee Management Buyouts (EMBO).
Metode
ini
memberi kesempatan kepada karyawan dan manajer BUMN yang bersangkutan untuk memiliki saham.
Metode ini dilakukan oleh Malaysian Airways dimana sebagian saham dijual kepada direksi dan ternyata
rasa memiliki ini mampu
mendongkrak kinerja perusahaan. Untuk kasus Indonesia, pelaksanaan EMBO
diutamakan untuk BUMN dimana
tumpuan utama operasionalnya adalah SDM (misal
bidang konstruksi), dengan
melibatkan koperasi karyawan.
Awalnya saham dibeli oleh koperasi
karyawan, kemudian koperasi membuka peluang bagi
karyawan untuk membeli dengan cicilan'',
Metode lain yang bisa menjadi altematif adalah dengan memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk memiliki saham BUMN yang
ada di daerahnya. Metode ini sejalan dengan semangat desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah yang
memberikan kesempatan luas kepada daerah untuk
mengembangkan potensi daerahnya.
Salah satu cara adalah dengan ikut serta
membangun
dan
meningkatkan
kinerja
BUMN
yangmemanfaatkan potensi yang ada di daerahnya.
Dalam pandangan Islam, terkait kepemilikan barang yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Dalil yang digunakan untuk jenis barang
yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang
Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola
tambang garam di daerah Ma'rab: [11]"Bahwa
ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka
beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya
kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali
tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).
Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air
yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang
mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di
rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai
kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil
tersebut. Adapun al-kala' adalah padang rumput, baik rumput basah atau
hijau (al-khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung
atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar
adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk
didalamnya adalah kayu baka[12].
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada
tiga macam benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang
diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan
perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi
al-shari' yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut
dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat
didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
BAB.
III. PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA
Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN
dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang
bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk
mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak
tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti
perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33
UUD 1945, seyogyanya dikuasai oleh BUMN[13].
Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN
yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan
kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan
kerja dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk
membangkitkan perekonomian lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan
masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan
usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha
kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar lokasi BUMN.
Dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN
dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan.
Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sementara itu, saat ini
Pemerintah Indonesia masih harus berjuang untuk melunasi pinjaman luar negeri
yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997 lalu. Dan salah satu upaya yang
ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah dengan
melakukan privatisasi BUMN.
Dampak kebijakan privatisasi BUMN
jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan kontrol regulasi. Dimana
dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi
akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya
jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun
subsidi. Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang
penting seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing.
Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar keuangan,
termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian
hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus
perselisihan bisnis.
Dampak lain yang sering dirasakan
dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada
swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau
konglomerat tertentu. Sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas
ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan
jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun
subsidi. Untuk itu diperlukan perombakan hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah
kebijakan yang dapat membantu perkembangan dan menarik investasi swasta dengan
memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah. Seharusnya program
privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik menjadi
milik swasta. Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan
pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan saham
kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol
dan lebih memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih
semangat untuk berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN yang
sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang
berujung pada kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai
dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-BUMN yang telah diprivatisasi
seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.,
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat
(Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik
(Persero) Tbk., ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap
likuiditas dan pergerakan pasar modal.[14]
Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan
privatisasi secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian,
diketahui pula bahwa terdapat beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan
kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT.
Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target
privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya
Selain itu, metode privatisasi yang
dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk penjualan saham kepada
pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil penjualan
saham-saham BUMN tersebut masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke dalam
BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka mengembangkan usahanya.
Bagi pemerintah hal ini berdampak
cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh pendapatan penjualan
sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang menguntungkan, karena
dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan berbagai
perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana segar yang
cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan operasionalnya
terdahulu yang sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.
Islam memberi patokan pada kita untuk tidak dikendalikan pihak asing (Q-3: 118, Q-5:51, dan Q-2:120)[15]. jadi dalam mengalihkan kepemilikan kita pada pihak asing, haruslah sedemikian rupa sehingga peran mereka
tidak dominan, dan mereka
tidak
mengendalikan penyediaan barang danjasa yang vital bagi masyarakat.
Artinya lagi
jika saham yang akan dialihkan adalah 100
persen dan diantara pembeli potensial
adalah pihak asing, kenapa tidak dijual kepada beberapa pihak. Atau dengan perkataan lain, saham ini dibagi-bagi, sehingga tidak satupun mendominasi yang lain. Pihak yang harus memperoleh saham
cukup berarti adalah
. masyarakat
domestik dan karyawan yang telah
menyumbangkan
tenaganya, sehingga rasa kepemilikan mereka
dapat terjaga dengan baik.
Dari segi politis, masih banyak
pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi saham kepada pihak asing
ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing dinilai akan menyebabkan
terbangnya keuntungan BUMN kepada pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat
Indonesia.
A.
Kebijakan negara terkait BUMN
Kedaulatan politik
akan
kehilangan makna
jika
tidak barengi oleh
kemandirian ekonomi yang
menjadi
prasyarat dasar bagi terjaganya otonomi dalam pembuatan
kebijakan nasional. Semakin tinggi kemandirian ekonomi, semakin tinggi pula otonomi
dalam pembuatan kebijakan nasional. Dalam hal ini,
kemandirian ekonomi dipahami
sebagai kemampuan negara
untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, baik
kebutuhan dasar (basic needs)
seperti
sandang,
pangan dan papan, maupun pelayanan-pelayanan dasar (basic services) berupa
pendidikan dan kesehatan. Negara memiliki tanggungjawab untuk merancang dan menjamin bahwa
seluruh
kebijakan
ekonomi
diarahkan untuk memenuhi dua jenis kebutuhan tersebut.[16]
Sejak beberapa tahun belakangan,
Pemerintah terus menggencarkan program Holding sektoral menuju Superholding
perusahaan-perusahaan BUMN tanpa ada kriteria yang jelas. Tak pelak, banyak
kalangan yang menilai Holding bukan untuk penyehatan BUMN, namun diduga untuk
kepentingan privatisasi.Istilah Holding BUMN bukanlah hal baru ditelinga
masyarakat Indonesia
Mantan Sekretaris Menteri Negara BUMN, Muhammad Said Didu, mengatakan
bahwa sekitar 85% saham BUMN yang berstatus Go Public di
lantai bursa dikuasai pihak asing. Dalam diskusi di Hotel Ritz Carlton,
Jakarta, beberapa waktu lalu, Didu menyatakan, “Walau dikuasai asing,
kepemilikan tersebut tidak memiliki dampak negatif.”[17]
Peralihan
kepemimpinan negara ke tangan Jokowi-JK tidak lantas menghentikan penjualan
saham BUMN ke lantai bursa. Dalam waktu dekat, Kementrian Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) akan menjual saham PTPN VII. Ditaksir Initial Public Offering
(IPO) PTPN VII kemungkinan menjadi IPO holding BUMN terbesar sepanjang sejarah.
Associate Director Investment Banking Mandiri Sekuritas, Muhammad
Hanugroho, mengungkapkan, “Ini (penjualan) holding besar, bisa dibilang largest
in the world. Total ekuiti holding saja Rp22 triliun. Bayangkan
asetnya bisa Rp70-80 triliun.” Tren ini kelak diikuti oleh perusahaan
perkebunan lainnya, padahal sektor perkebunan merupakan sektor penting guna
memenuhi kebutuhan pangan nasional. Mimpi Jokowi untuk mewujudkan kedaulatan
pangan pun semakin “jauh panggang dari pada api”[18].
Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, sejauh ini belum memberi sinyal
akan melakukan pembelian kembali saham BUMN dari pihak asing. Meski ada
tuntutan dari DPR untuk membeli kembali saham PT Indosat Tbk. Langkah berbeda
dilakukan pemerintah awal tahun ini, Presiden Joko Widodo berencana
menyuntikkan dana ke perusahaan plat merah yang bergerak di sektor
infrastruktur. “Kita sedang bangun kepercayaan. Kita punya ruang fiskal
yang longgar dari kebijakan BBM subsidi, kita alihkan ruang fiskal itu untuk
proyek infrastruktur, sehingga kita akan suntik modal ke perusahaan-perusahaan
BUMN dalam mempercepat infrastruktur,” ujar Presiden Joko Widodo di Gedung BEI,
Jakarta, Jumat (2/1).[19]
B.
Pro-Kontra Mengenai Privatisasi
Sebagai
sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, program privatisasi masih
disikapi secara pro dan kontra. Berikut ini akan diuraikan mengenai
alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra tersebut.
1.
Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi
a. Peningkatan
efisiensi, kinerja dan produktivitas perusahaan yang diprivatisasi
BUMN sering
dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak
professional dengan kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif
lainnya. Beberapa faktor yang sering dianggap sebagai penyebabnya adalah
kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di pasar produk sebagai akibat
proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN. tidak adanya
persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.[20]
Hal ini akan
berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung
dengan peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal
meniadakan proteksi perusahaan yang diprivatisasi. Dengan adanya disiplin
persaingan pasar akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien. Pembebasan
kendali dari pemerintah juga memungkinkan perusahaan tersebut lebih kompetitif
untuk menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan kualitas yang lebih baik dan sesuai
dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan sumber daya lebih efisien
dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.[21]
b. Mendorong
perkembangan pasar modal
Privatisasi
yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya
perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada
perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.[22]
Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru yang masuk ke pasar modal dan
reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur ekonomi dapat
mengurangi defisit dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung perkembangan
pasar modal.[23]
c. Meningkatkan
pendapatan baru bagi pemerintah
Secara umum,
privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari
penjualan saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi
pemerintah yang ditujukan kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat
meningkatkan penerimaan pajak dari perusahaan yang beroperasi lebih produktif
dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian, privatisasi dapat menolong
untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus mengatasi tekanan
inflasi.
2. Alasan-Alasan
Yang Menolak Program Privatisasi
Beberapa
alasan yang diajukan oleh pihak yang mendukung program privatisasi sebagaimana
telah dipaparkan di atas, dinilai tidak tepat oleh pihak-pihak yang kontra.
Alasan bahwa privatisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja
perusahaan yang diprivatisasi dianggap tidak sesuai dengan fakta. Sebab jika
itu yang menjadi motifnya, maka seharusnya yang diprivatisasi adalah
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien, produktivitasnya rendah dan
kinerjanya payah. Sehingga dengan diprivatisasi, diharapkan perusahaan tersebut
berubah menjadi lebih efisien, produktivitasnya meningkat, dan kinerjanya
menjadi lebih bagus. Padahal, pada kenyatannya yang diprivatisasi adalah
perusahaan yang sehat dan efisien. Jika ada perusahaan negara yang merugi dan
tidak efisien, biasanya disehatkan terlebih dahulu sehingga menjadi sehat dan
mencapai profit, dan setelah itu baru kemudian dijual.[24]
Alasan untuk
meningkatkan pendapatan negara juga tidak bisa diterima. Memang ketika terjadi
penjualan aset-aset BUMN itu negara mendapatkan pemasukan. Namun sebagaimana
layaknya penjualan, penerimaan pendapatan itu diiringi dengan kehilangan
pemilikan aset-aset tersebut. Ini berarti negara akan kehilangan salah satu
sumber pendapatannya. Akan menjadi lebih berbahaya jika ternyata pembelinya
dari perusahaan asing. Meskipun pabriknya masih berkedudukan di Indonesia,
namun hak atas segala informasi dan bagian dari modal menjadi milik perusahaan
asing.[25]
C. Mereformasi BUMN di Indonesia
Berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah
sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang
demikian di Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto
menyebutkan bahwa dalam konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur
oleh negara melalui perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan
oleh, dari, dan untuk rakyat.[26]
Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama)
bukan kemakmuran individu-individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat
harus ikut dalam seluruh proses produksi dan turut menikmati hasil-hasil
produksi yang dijalankan di Indonesia.
Mengacu pada
Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia adalah
kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu
pengelolaan BUMN agar dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus
dapat beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat menyediakan
produk-produk vital yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat.
Selain itu, BUMN juga harus berupaya memperbaiki profitabilitasnya, sehingga
dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi pemerintah, terutama untuk
mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada
kesejahteraan rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang
vital bagi hajat hidup rakyat banyak, sehingga tentu akan sangat merugikan
rakyat jika BUMN jatuh bangrut atau pailit.
Praktik
privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat
demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang
diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang
cukup signfikan.[27]
Privatisasi BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan”
nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang diberikan
wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup
orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu
harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari
sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN
kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang
bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan
didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal.
Jika demikian yang terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya
akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga dapat dikatakan manfaatnya
akan berpindah kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara
sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan
antara lain adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of
shares) yaitu privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada pihak
swasta melalui pasar modal, penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private
sale of share) yaitu penjualan saham BUMN kepada satu atau sekelompok
investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee
buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak karyawan atau
manajemen BUMN.
Pilihan
model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan
sosial budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti: [28]
1.
Ukuran nilai privatisasi ;
2.
Kondisi kesehatan keuangan tiga
tahun terakhir ;
3.
Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk
melakukan privatisasi ;
4.
Kondisi pasar ;
5.
Status perusahaan, apakah
telah go public atau belum ; dan
6.
Rencana jangka panjang masing-masing
BUMN.
Diantara
tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah
dikemukakan di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa
ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen
atau karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta
tertentu berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok
pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi
yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan kepemilikan
pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang
bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.
Dengan
penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke tangan rakyat.
Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka akan
dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui
pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh manajemen
atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan
kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini
masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN jatuh ke tangan pihak
asing.
Selama ini,
praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal.
Idealnya, sebelum diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya
direstrukturisasi terlebih dahulu, sehinga pasca privatisasi nanti, kinerja
BUMN yang bersangkutan dapat mengalami peningkatan. Landasan hukum privatisasi
juga hrus kuat, sehingga saat sebuah BUMN diprivatisasi, tidak ada lagi
kontroversi yang sifatnya merugikan. Sedangkan dari segi politis, harus ada
kesepahaman antara segenap rakyat, pemerintah dan para pengambil kebijakan
publik, sehingga semuanya sepakat bahwa privatisasi akan membawa dampak
positif bagi kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan privatisasi pun didukung
oleh semua pihak.
Pelaksanaan
privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karena
sebenarnya, kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan publik pemerintah
yang notabene akan menentukan nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program ini
dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu membawa dampak positif bagi semua
pihak. Bagi BUMN itu sendiri, akan tercapai efisiensi dan perbaikan kinerja
manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal akan sangat membantu
dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan
pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi
BUMN akan memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai
pengelola bidang-bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan sumber daya vital
tersebut untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal
33 UUD 1945.
BAB.
IV KESIMPULAN
Dampak
kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah
dan kontrol regulasi seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi
investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar
keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan
kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya
kasus perselisihan bisnis. Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan
privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan pemerintah kepada swasta.
Diantara
tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan, yang dianggap relatif
sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham BUMN kepada umum
dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan metode
penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan
kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai
dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan.
Islam
membolekan privatisasi, dalam kerangka penyebaran dan pemerataan kepemilikian
public. Islam melarang swastanisasi asset asset penting dan menguasai hajat
hidup orang banyak. Hal ini selayaknya tetap di kuasai oleh negara sepenihnya,
untuk kemakmuran rakyat.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad Erani
Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia, Grasindo
Jakarta, 2002
Depar Temen Agama RI, Al Quran dan Terjemahan, tahun 2002
Hasan Djuhaendah,
Pengelolaan Kekayaan BUMN dan Permasalahannya. FH-UNPAD, 2007,
http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/ Di Akses tanggal 15 November
2014
Ibrahim R., Landasan
Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 26-No.1-Tahun 2007,
I Putu Gede Ary Suta, Menuju Pasar Modal Modern, Sad Satria Bhakti, Jakarta, 2002,
Kwik Gian
Gie, Analisis Ekonomi Politik di Indonesia, Gramedia Jakarta 1994
Lance Marston, Preparing for Privatization: A Decision akers Checklist in Steve hanke
(ed.),
Privatization and Development, International Center
for Economic Growth.
1987;
Labib Rahmat
S., Privatisasi Dalam Pandangan Islam, wadi Press Jakrta tahun 2005
Muhammad Al-Shawkani.,Nayl al-Awtar, jilid 6, Beirut: Dar
al-Fikr, 1994.Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam,
terj. Ibn Sholah (Bangil: al-Izzah, 2001),
Rianto
Nugroho, BUMN Indonesia, Issu, Kebijakan dan Strategi, Media Komputindo,
Jakarta 2005
Rianto Nugroho,
Mangament Privatisasi BUMN, Media Komputindo, Jakarta, tahun 2008
Suparman Sastrawidjaja, Eksistensi BUMN Sebagai Perusahaan, FH-UNPAD, 2007,.
UU No 19 tahun 2003, secretariat Negara
Undang-undang
Dasar 1945
[4] Ibrahim R., Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan
BUMN: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.1-Tahun 2007, hlm.
12.
[7] Marston, Lance, Preparing for Privatization: A Decision akers Checklist in Steve hanke (ed.), Privatization and
Development, International Center for Economic
Growth. 1987; HAL 10
[8] Ibid
[9] Ibid hal 12
[14] http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/ Di Akses
tanggal 15 November 2014
[16] Visi Misi Jokowi Yusuf Kala, hal
28-29
[17] Republika Online, 5 Januari 2015
[18] http://membunuhindonesia.net/2015/01/asing-menguasai-85-saham-bumn/
[19] Ibid
[22] Ahmad
Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia,
Grasindo Jakarta, 2002 hal.176
[26] http://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/privatisasi-bumn-di-indonesia/ Di Akses
tanggal 15 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar